Kriteria qiraah yang diterima :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
Bila salah satu syarat dari ketiga syarat diatas tidak dipenuhi maka qiraat nya dinyatakan syadz atau tidak sah dan ditolak.
Faedah perbedaan qiraah :
1. Mempermudah kabilah-kabilah yang berbeda logat / dialek, tekanan suara dan bahasanya dengan bahasa Al-Quran.
2. Membantu dalam penafsiran dan ijtihad, karena perbedaan qiraat itu
bisa jadi menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qiraah lain.
Seperti qiraah Ibnu Masud dalam surah Al Maidah ayat 38 : was-sariqqu
wassariqatu faqthau aidiyahuma, dalam qiraah lain dibaca faqthau
aimanahuma.
3. Menunjukkan terjaga dan terpeliharanya Al-Quran dari penyimpangan, padahal Al-Quran tersebut mempunyai banyak segi bacaan.
4. Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, baik dari segi makna atau lafaznya.
Tajwid
Tajwidul Quran adalah ilmu yang membahas cara membaca atau mengucapkan
Al-Quran dengan baik dan benar, yang meliputi tempat keluarnya
(makharijul) huruf, cara berhenti (waqaf), imalah, idgam, idhar, ikfak,
iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.
Adab membaca Al-Quran :
1. Bersiwak sebelumnya.
2. Mempunyai wudhu.
3. Membaca ditempat yang suci dan bersih.
4. Membaca Taawudz sebelum mulai membaca Al-Quran
5. Membaca Basmallah pada permulaan awal surah, kecuali surah At-Taubah, sebab Basmallah termasuk salah satu ayat Al-Quran.
6. Membaca dengan khusuk, tenang dan takzim.
7. Menghadirkan hati dan meresapi maknanya.
8. Membaca dengan tartil (pelan dan tenang) dan dengan tajwid yang benar.
9. Membaguskan suara.
10. Mengeraskan suara bacaan.
Keadaan suci ketika membaca dan menyentuh Al-Quran
A. Membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats kecil.
Membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats kecil dengan tanpa
menyentuhnya, hukumnya jaiz (boleh). Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah
menyatakan bahwa Para ulama tidak berselisih pendapat atau sepakat
didalam masalah tersebut.
B. Membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats besar (junub).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid mengatakan : Jumhur ulama mengharamkannya.
Dalam Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq terdapat keterangan : Imam Bukhary, ath-Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Hazm membolehkannya.
C. Membaca Al-Quran dalam keadaan haid atau nifas
Hadits Jabir dari Nabi, beliau bersabda :
Perempuan yang sedang haidh dan nifas tidak (boleh) membaca sesuatu dari Al-Quran (HR ad-Daraquthni).
Hadits lain bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Turmudzi dan Ibnu Majah dengan redaksi yang tidak jauh berbeda dengan
hadis Jabir diatas. Dari situ jumhur ulama mengharamkan wanita yang
sedang haid atau nifas membaca Al-Quran.
Imam Syaukani dalam Nailul Autar berkata : Kedua hadits itu tidak patut
untuk dijadikan hujjah untuk hukum haram. (Kedua hadits tersebut masih
diperselisihkan ke-sahihannya).
D. Menyentuh Al-Quran dalam keadaan ber hadats kecil dan besar.
Dalil yang mengharamkan menyentuh Al-Quran dalam keadaan ber hadats
kecil maupun besar masih diperselisihkan dan cenderung tidak kuat.
Dari segi untuk ke hati-hatian dan dari adab kesopanan sebaiknya ketika
menyentuh dan membaca Al-Quran sedapat mungkin dalam keadaan suci dan
punya wudhu.
Menerima upah dari mengajarkan Al-Quran
Abu Laits Nashrun bin Muhammad as-Samarqandi dalam kitabnya Bustanul
Arifin menyatakan bahwa mengajarkan Al-Quran itu ada tiga macam :
1. Mengajarkan Al-Quran ikhlas karena Allah semata dan tidak meminta upah.
2. Mengajarkan Al-Quran dengan meminta upah.
3. Mengajarkan Al-Quran dengan tanpa syarat, jika dikasih upah diterima.
Macam pertama mendapat pahala Allah atas perbuatannya dan yang demikian itu meneladani perbuatan para nabi.
Macam kedua diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama dahulu
(mutaqaddimun) menetapkan tidak boleh. Sedangkan sebagian ulama kemudian
(mutaakhkhirun) menetapkan Boleh seperti : Ashnan bin Yusuf, Nashrun
bin Yahya dan Abu Nashr bin Salam.
Macam ketiga disepakati boleh oleh jumhur ulama.
VIII. Tema-Tema Dalam Al-Quran
8.1 Amsal (perumpamaan) dalam Al-Quran
Menurut Ibnu Qayyim, Amtsalul Quran adalah penyerupaan sesuatu dengan
sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang
abstrak dengan yang kongkrit.
Macam-macam Amtsal (perumpamaan) dalam Al-Quran :
1. Amtsal Musarrahah, ditunjukkan dengan lafazh pemisalan atau sesuatu yang menunjukkan tasbih.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] : 17-20 :
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak
dapat melihat. Mereka ini bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan
kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti orang-orang yang ditimpa
hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat. .
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu
2. Amtsal Kaminah, yaitu tidak ditunjukkan dengan lafazh permisalan.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] : 68 :
Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan dari itu
3. Amtsal Mursalah, kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh
tasbih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai
permisalan.
Contoh : QS [11] : 81 :
Bukankah subuh itu sudah dekat sebagai perumpamaan waktu yang udah dekat.
Kitab yang khusus membahas Amtsalul Quran diantaranya Amtsal Al-Quran karangan Ibnu Qayyim Jauziah.
8.2. Qasam (sumpah) dalam Al-Quran
Bentuk sumpah ada dua, yaitu :
1. Qasam Zahir, yaitu disebutkan kata sumpah, contohnya QS [75] : 1-2 :
Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)
2. Qasam Mudhmar, yaitu tidak disebutkan kata sumpah didalamnya, contohnya QS [3] : 186 :
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu
8.3. Jadal (perdebatan) dalam Al-Quran
Bentuk dan tujuan perdebatan dalam Al-Quran :
1. Membungkam lawan, contoh pada QS at-Tur [52] : 35-43 :
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri ) ?. Ataukah mereka telah menciptakan
langit dan bumi itu ? Ataukah disisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu
ataukah mereka yang berkuasa ? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke
langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang ghaib) ? Maka
hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu
keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk
kamu anak-anak laki-laki ? Ataukah kamu meninta upah kepada mereka
sehingga mereka dibebani dengan utang ? Apakah ada pada sisi mereka
pengetahuan tentangnya yang lalu mereka menuliskannya ? Ataukah mereka
hendak melakukan tipu daya ? Maka orang-orang kafir itu merekalah yang
kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah ? Mahasuci
Allah dari apa yang mereka sebutkan.
2. Mengambil dalil penciptaan awal untuk argumen hari kebangkitan, contohnya pada QS at-Tarik [86] : 5-8 :
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan ? Ia
diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar
berkuasa mengembalikannya (menghidupkan sesudah mati)
3. Membatalkan pendapat lawan dengan bukti kebenaran kebalikannya. Contohnya pada QS al-Anam [6] : 91 :
Katakanlah siapa yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa
sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkans
ebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya; padahal telah
diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapk-bapak kamu tidak
mengetahuinya ? Katakan lah : Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan Al-Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya
4. Menerangkan bahwa sesuatu itu bukanlah alasan hukum, contoh pada QS Al-Anam [6] : 143-144 :
Delapan binatang yang berpasangan,sepasang dari domba dan sepasang dari
kambing. Katakanlah : Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah
ataukah dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ?
Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang
orang-orang yang benar. Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu.
Katakanlah : Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua betina,
ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ? Apakah kamu menyaksikan
di waktu Allah menetapkan ini bagimu ? Maka siapakah yang lebih zalim
daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim
5. Mematahkan hujjah lawan, contohnya pada QS Al-Anam [6] : 100-101 :
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah,
padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu dan mereka berbohong
(dengan mengatakan) : bahwasanya Allah mempunyai anak lai-laki dan
perempuan, tanpa berdasar ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan
Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia pencipta langit dan
bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri ?
Dia menjadikan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.
8.4. Qishosh (Kisah) dalam Al-Quran
Macam-macam kisah dalam Al-Quran :
1. Kisah Nabi-Nabi terdahulu, seperti Nabi Nuh, Hud, Ibrahim, Musa, Yusuf, dsb.
2. Kisah person tertentu, seperti Lukman, Dzulqarnain, Ashabul Kahfi, Maryam, dll.
3. Kisah peristiwa-peristiwa, seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab, dsb.
IX. Ushul Tafsir
Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Quran yang membahas
ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk
menafsirkan Al-Quran. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul quran
yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath
(penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan itikad (tauhid, akidah)
yang benar.
Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : Jika ada
orang bertanya : Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Quran,
maka jawabnya : Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Apabila ebgkau
tidak mendapatkan penafsirannya pada Al-Quran, maka tafsirkanlah dengan
sunnah (hadits), karena sesungguhnya ia memberi penjelasan terhadap
Al-Quran. Apabila tidak engkau temukan tafsirnya dalam Al-Quran dan
tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada perkataan-perkataan
sahabat Nabi SAW, karena mereka paling mengetahui sesudah Nabi,
mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al-Quran dan situasi
ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari
Nabi. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah serta
tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk
perkataan tabiin
A. Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran
Metode ini berdasarkan contoh dari Rasulullah. Ketika para sahabat membaca firman Allah :
Mereka yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan
kezaliman, mereka itulah yang mendapat kemananan dan mereka mendapat
petunjuk (QS [6] : 82}.
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, siapakah
diantara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ? Nabi menjawab
: Tidak seperti yang kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah
syirik. Tidakkah enkau membaca ucapan hamba yang saleh (Luqman) :
Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang sangat besar. (QS Luqman
[31] : 13).
Firman Allah dalam QS Al-Fatihah [1] : 6 :
Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat
Siapakah yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat ? maka tafsirnya
ada pada ayat Al-Quran yang lain, yaitu QS An-Nisa [4] : 69 :
Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu : Nabi-Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
B. Tafsir Al-Quran dengan sunnah (hadits)
Peran (hadits) Rasulullah terhadap Al-Quran :
1. Menjelaskan bagian yang masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis) yang masih umum (amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan tambahan dari aturan yang telah ada dalam Al-Quran.
5. Menjelaskan nasakh (menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum yang telah ada.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan dirikanlah shalat
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang
masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka
untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan
sholat hingga sempurna, lalu bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana
kalian telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
C. Tafsir Al-Quran dengan perkataan sahabat Nabi (Qaul Sahabi).
Sahabat nabi adalah generasi terbaik yang beriman dan diridloi Allah,
bertemu langsung dengan Nabi dan ikut menyaksikan peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunnya dengan
ayat yang lain. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan dari segi bahasa,
saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran manhaj,
kuatnya keyakinan, apalagi jika mereka telah melakukan Ijma dalam suatu
penafsiran.
Firman Allah dalam QS An-Nur [24] : 31 :
Hendaklah mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh tampak darinya
Ibnu Abbas menafsirkan yang boleh tampak itu adalah : wajahnya, kedua telapak tangan dan cincin
D. Tafsir Al-Quran dengan perkataan tabiin.
Tabiin bertemu langsung dengan para sahabat Nabi dan mengambil ilmu dari mereka.
Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabiin yang
menjadi muridnya adalah : Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu
Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Kaab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat
Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabiin adalah : Zaid bin
Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Kaab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Masud, yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ray (akal). Tabiin yang menjadi
muridnya antara lain : Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid,
Murrah Al-Hamazani, Amir Asy-Syabi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin
Diamah as-Sadusi.
Sufyan Tsauri berkata : Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu.
Berkata Ibnu Taimiyah : Syafii, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya.
Az-Sahabi berkata : Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka
yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir
belajar.
Diantara tokoh-tokoh tabiin Mujahid merupakan yang paling menonjol dan
perkataannya banyak diikuti mufasirin sesudahnya. Tentunya harus
diseleksi sanad-sanad atsar yang disandarkan kepada mereka, bila sahih
maka layak untuk diikuti.
E. Israiliyyat.
Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam,
Kabul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij;
khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan
kamu muslimin. Sebagian mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam
kitab tafsir mereka.
Israiliyyat ini dibagi menjadi tiga :
1. Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka harus ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak ditolak, sebatas dijadikan wacana.
X. Makkiyah Madaniyah
Pokok-pokok bahasan ayat-ayat Makki-Madani adalah :
1. Ayat yang diturunkan di Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).
Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah :
1. Berdarakan waktu, inilah yang paling populer dikalangan mufasirin
bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka, bahwa surat atau ayat
yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah, sedangkan yang
diturunkan sesudah hijrah adalah Madaniyah. Dalam hal ini tempat bukan
menjadi ukuran. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 3 adalah Madaniyah meskipun
diturunkan di Arafah - Mekkah.
2. Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekkah (meliputi Mina, Arafah,
Hudaybiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah (meliputi
Badar dan Uhud) berarti Madaniyah.
3. Berdasarkan Khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan
kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah. Jika ditujukan kepada penduduk
Madinah maka berarti Madaniyah. Klasifikasi ini bermasalah jika seruan
tidak ditujukan kepada keduanya.
Ayat Makkiyah dan ciri-cirinya :
1. Setiap surat yang mengandung sajadah.
2. Setiap surat yang mengandung lafazf kalla.
3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan nas.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi kecuali surat Al-Baqarah
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali dengan huruf muqattaah kecuali surat
Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan surat Rad masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada tauhid, celaan terhadap akidah musyrik dan
budaya jahiliyah, khabar surga dan peringatan neraka, kisah para Nabi
dan umat terdahulu yang dibinasakan, kata-katanya pendek, singkat tapi
membekas dan berkesan.
Ayat Madaniyah dan ciri-cirinya :
1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi.
2. Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al-Ankabut .
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
4. Surah yang mengandung seruan Ya ayuhalladzina amanu
5. Isinya menjelaskan ibadah, muamalah, hukum dan perundang-undangan,
seruan terhadap ahli kitab untuk masuk Islam, menyingkap perilaku orang
munafik, ayatnya panjang-panjang dan memantapkan syariat.
Faedah mengetahui Makkiyah Madaniyah :
1. Mengetahui tempat dan waktu diturunkannya ayat Al-Quran, untuk
membantu memahami penafsiran yang benar serta analisa nasikh-mansukhnya.
2. Meresapi gaya bahasa Al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dan tahapan dakwah.
3. Memahami sirah nabawiyah dan periode periode dakwahnya.
XI. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
Turunnya ayat Al-Quran dibagi menjadi dua macam :
1. Tanpa sebab khusus (ibtida).
2. Dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
Untuk mengetahui asbabun nuzul satu-satunya cara adalah melalui riwayat
yang dinyatakan oleh para sahabat Nabi. Merekalah orang-orang yang
mengerti betul kapan, dimana, kepada siapa dan dalam konteks apa
Al-Quran diturunkan. Walaupun demikian tidak semua riwayat dinyatakan
oleh para sahabat mengenai turunnya Al-Quran tersebut dikonotasikan
asbabun nuzul.
Adapun mengenai riwayat yang berkaitan dengan asbabun nuzul :
1. Jika ada sahabat yang mengatakan : Sebab turunnya ayat ini adalah .
2. Jika sahabat menceritakan adanya sebuah pertanyaan yang kemudian
turun ayat sebagai jawaban atau reaksi dari pertanyaan tersebut.
3. Jika ada indikasi yang kuat (rajih) menunjukkan asbabun nuzul, contoh :
Rasulullah telah ditanya tentang ini, maka turunlah ayat .
4. Jika ada pernyataan sahabat : Ayat ini diturunkan dalam konteks ..
Maka itu bisa menunjukkan asbabun nuzul bisa menunjukkan penjelasan /
penafsiran sahabat terhadap suatu ayat, jadi masih perlu diteliti.
Bila ada perbedaan riwayat mengenai asababun nuzul suatu ayat maka harus
diteliti untuk dipilih mana yang paling kuat (ditarjih) atau kalau
masih mungkin dikompromikan.
Contoh study asbabun nuzul :
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 195 :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah,
karena sesungghuhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Ibnul Araby mengatakan, ada lima pendapat menafsirkan At-Tahlukah (kebinasaan), yaitu :
1. Janganlah engkau meninggalkan pemberian nafkah.
2. Janganlah engkau berjihad tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau menggempur pasukan sedangkan engkau tidak mempunyai kekuatan untuk menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa dari ampunan Allah (karena merasa sudah terlalu banyak dosa).
Imam Ath-Thabari mengatakan : Maknanya umum mencakup semuanya, tidak kontradiktif satu dengan yang lain
Imam Syaukani mengatakan : Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab (turunnya ayat).
Maka perlu disampaikan salah satu riwayat (atsar) yang menjelaskan
asbabun nuzulnya ayat tersebut, yaitu riwayat Imam At-Tirmidzi dari
Yazid bin Abi Habib dari Aslam Abi Imran :
Waktu kami berada di negeri Romawi (Konstantinopel) sekelompok pasukan
Romawi menghadang kami, maka kaum muslimin menyambut mereka dengan
pasukan sejumlah mereka atau lebih banyak. Legiun Mesir dibawah komando
Uqbah bin Amir dan pasukan lain yang dipimpin Fadhalah bin Ubaid.
Seorang tentara kaum muslimin menerjang barisan pasukan Romawi
sendirian, melihat itu banyak yang berteriak, Subhanallah ia
menjerumuskan dirinya menuju kebinasaan. Mendengar itu Abu Ayyub
Al-Anshari (salah seorang sahabat Nabi) berkata : Wahai saudara-saudara,
kalian memehami ayat ini dengan penakwilan seperti itu ? Ketahuilah,
bahwa ayat ini turun kepada kami kaum Anshar. Ketika Allah memberikan
izzah (kejayaan) kepada Islam dan memperbanyak penolong-penolongnya,
sebagian kami (kaum Anshar) saling berkata secara sembunyi-sembunyi
tanpa diketahui Rasulullah SAW, Ketahuilah, bahwa harta kita sudah habis
dan Allah telah memberikan kejayaan kepada Islam dan memperbanyak
pendukungnya, apakah tidak lebih baik kita untuk konsentrasi pada harta
kita dan kita dapat mengembalikan harta kita yang hilang. Maka Allah
kemudian menurunkan ayat ini (QS Al-Baqarah [2] : 195) kepada NabiNya
sebagai jawaban kepada kami, arti dari At-Tahlukah (kebinasaan) adalah
konsentrasi terhadap harta (niaga, berkebun) dan pemanfaatannya
(berfoya-foya) yang berakibat meninggalkan perang (jihad). Abu Ayyub
Al-Anshari senantiasa berjihad fisabilillah sampai beliau dikebumikan di
tanah Romawi (Konstantinopel), kuburan beliau ada disana. (HR Tirmidzi,
Abu Dawud dan Ahmad, lafazh diatas adalah yang terdapat pada riwayat
Tirmidzi).
Walaupun ada kaidah Yang jadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada
kekhususan sebab paling tidak dari riwayat diatas setidaknya dapat
membantu penafsiran yang lebih spesifik yaitu : Janganlah kamu
menghentikan ber infaq membelanjakan harta dijalan Allah dan janganlah
kamu meninggalkan jihad fisabilillah yang dapat menyebabkan kamu binasa
yaitu lemah dan atau dikuasai musuh.
Manfaat mengetahui asbabun nuzul :
1. Mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum..
2. Menghilangkan kaburnya pembatas (hashr) atas apa yang lahirnya menunjukkan pembatasan
3. Mengetahui hikmah disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa ayat tersebut diturunkan, dan tidak diterapkan kepada orang lain yang tidak semestinya.
Contoh : Ketika Marwam bin hakam menjabat Gubernur Hijaz
(Mekkah-Madinah) pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan, Marwan
berpidato yang intinya mengajak penduduk Hijaz membaiat Yazid bin
Muawiyah sebagai Khalifah sepeninggal ayahnya, Marwan berkata : ini
adalah sunah Abu Bakar dan Umar. Tiba-tiba Abdurrahman bin Abu Bakar
menyahuti : Itu sunnah Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) seraya pergi
ke rumah Aisyah (kakaknya). Maka Marwan berkata : Itulah orang yang
dikatakan dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu berkata kepada ibu-bapaknya
: Cis, bagi kamu berdua . Perkataan Marwan itu sampai kepada Aisyah,
maka Aisyah membantah dan berkata : Marwan berdusta, Demi Allah, maksud
ayat itu tidaklah demikian, Sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa
ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.
XII. Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus
Dikalangan umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam
yang berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Quran sebagai
sumber pedoman. Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa
budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus
dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut
berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului
atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang
pada kaidah al ibrahu bi umumil lafzh la bikhususin asbab (yang menjadi
pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan
sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ibratu
bikhususus sabab la bi umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah
kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan suatu hukum, yang
konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu,
sedangkan teksnya bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas
pada kasus tersebut, tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang
mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Inilah maksud kaidah
yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan
sebab.
Dalam memahami kaidah diatas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa
asbabun nuzul pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang
menampilkan contoh untuk menjelaskan makna redaksi ayat Al-Quran.
Sedangkan redaksi yang bersifat umum itu ruang lingkupnya tidak terbatas
pada kasus khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Quran
diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa
turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.
Pendapat kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai
dengan umumnya hukum-hukumsyariat dan telah diberlakukan oleh para
sahabat dan imam mujtahid. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki
asbabun nuzul tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai
berikut :
Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka,
sedang mereka tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian
orang itu empat kali sumpah (dengan sekali bersumpah) demi Allah, bahwa
sungguh dia berkata benar.
Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu
Umayyah kepada istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat
ini bersifat umum. Menurut penganut kaidah keumuman lafazh bukan ke
khususan sebab dengan demikian ketentuan hukumnya tidak hanya berlaku
bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku bagi semua orang yang menuduh
istrinya berbuat zina tanpa saksi.
Adapun penganut kaidah kekhususan sebab bukan keumuman lafazh lebih
menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat
yang memiliki latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)itu, jika
qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.
Allah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :
Adapun mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya
sebagai hukuman atas perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah
berbuat jahat dan memperbaiki diri, maka Allah akan menerima tobatnya,
Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.
Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan
lain-lain yang bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita
mencuri di zaman Rasulullah, kemudian dipotong tangannya yang kanan.
Wanita tersebut bertanya, Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah ? Maka
Allah menurunkan ayat berikutnya QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat
seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat
baik.
Bila saklek berpegang pada kaidah keumuman lafazh bukan pada ke khususan
sebabmaka akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara
tekstual, bahwa ketetapan hukum potong tangan bagi seorang pencuri itu
berlaku umum disegala situasi dan tempat, dengan mengabaikan konteks
situasi sosial yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut,
sehingga relevansi ketetapan hukum kurang mendapat perhatian. Padahal
perubahan waktu dan situasi yang meliputi meniscayakan perubahan hukum.
Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat, seperti
ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri
dimasa paceklik, apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah
meninggalkan ayat tersebut, atau ayat disesuaikan dengan situasi kondisi
?
Cara pandang ekstrim demikian akan muncul bila asbabun nuzul dipahami
sebatas peristiwa dan pelakunya. Apabila ia dipahami secara
komprehenship, meliputi waktu, tempat, situasi dan kondisi sosial-budaya
yang melatarbelakangi turunnya ayat, kemudian dicoba dicari
tujuan-tujuan syariah dan mashlahah mursalah yang menjadi ruh ayat
tersebut, maka akan dapat melahirkan perkembangan dalam penafsiran yang
lebih tepat.
XIII. Nasikh Mansukh
Nasikh adalah penghapusan lafazh atau hukum suatu nash syara, sedangkan
mansukh adalah nash syara yang dihapus lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
Apa saja ayat-ayat yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau kami
datangkan yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Macam-macam naskh dalam Al-Quran :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, bahwa telah
ada sekelompok orang sahabat Nabi yang memberitahu dia tentang seorang
laki-laki diantara mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Dia
bermaksud untuk membuka catatan sebuah surah yang sebelumnya dia hafal.
Ternyata dia tidak menjumpai tulisan surah itu kecuali hanya tulisan
Bismillahirrahmanirrahim. Maka pada keesokan harinya dia datang ke rumah
Nabi untuk menanyakan hal tersebut. Ternyata ada juga beberapa orang
yang datang kepada Nabi sehingga mereka berkumpul menjadi beberapa
orang. Mereka saling menanyakan antara yang satu dengan yang lain.
Mereka juga saling menceritakan pengalaman yang dialami masing-masing
tentang tulisan surat yang tiba-tiba hilang. Beberapa saat kemudian Nabi
menerima mereka dan mendengarkan penuturan mereka. Kemudian Nabi
terdiam sejenak, setelah itu beliau bersabda : Tadi malam surat tersebut
telah di nasakh. Maka hafalan surah itupun dinasakh dari dada mereka
(yang telah hafal) dan juga dari benda apapun yang mengabadikan rasm
(tulisan) surah tersebut.
Riwayat dari Ibnu Masud : Telah diturunkan sebuah ayat Al-Quran kepada
Rasulullah saw. sehingga saya mencatatnya didalam mushafku. Namun pada
suatu malam ternyata permukaan mushaf itu hanya berwarna putih (hilang
tulisannya), maka saya menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata
beliau bersabda : Tidakkah kamu tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat
(dinasakh) tadi malam.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah : Diantara yang diturunkan kepada beliau
(Nabi) adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim. Lafazh
Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat Lima susuan yang maklum. Jadi
lafazh Sepuluh susuan telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh
Lima susuan. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum
sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang hukum rajam bagi pezina muhson.
Riwayat dari Said bin Al-Musayyab : bahwa Umar bin Khattab telah berkata
: Mengenai ayat tentang rajam, maka janganlah sampai kalian tidak
mengetahuinya, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerapkan
hukuman rajam, begitu juga dengan kami, kami telah mempraktekkannya.
Ayat tentang rajam itu benar-benar telah diturunkan. Ayat rajam yang
kami baca, Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan (maksudnya yang
sudah menikah) jika sampai melakukan perbuatan zina, maka rajamlah
keduanya dengan pasti. Kalau bukan karena khawatir orang-orang akan
mengatakan Umar telah menambahkan sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti
saya telah menulis ayat itu dengan tanganku sendiri (dalam mushaf
Al-Quran).
3. Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus (mansukh) masih tetap ada dalam mushaf,
tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya (nasikh). Ulama
terdahulu (abad 1 s.d. 3 H) memperluas konsep nasakh hingga mencakup hal
hal :
a. Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin mempersempit pengertian nasakh hanya bila
meghapuskan hukum yang terdahulu atau telah berakhirnya masa berlaku
hukum yang terdahulu sehingga ketentuan yang berlaku adalah hukum yang
ditetapkan terakhir. Para ulama masih memperselisihkan adakah ayat
Al-Quran yang dinasakh hukumnya sedangkan lafazhnya masih ada dalam
mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu : Abu Muslim al-Ashfani,
Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll. Kelompok yang menolak adanya
nasakh hukum, mereka mentawilkan kata ayat dalam QS Al-baqarah : 106
dengan mukjizat jadi yang di nasakh adalah mukjizat bukan ayat Al-Quran.
Adapun kelompok yang menetapkan adanya nasakh, menafsirkan kata ayat
dengan zahirnya, diantaranya Imam Syafii, Imam Syaukani dan As-Suyuthi.
Mengenai ayat-ayat yang dinasakh, kelompok yang menetapkan adanya nasakh
juga berbeda pendapat. As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Quran yang
dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Quran dengan hadits
a. Naskh Al-Quran dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits Quran ahad.
Imam Syafii, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkan, berdasarkan
ayat Apa saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya
(QS Al-Baqarah [2] : 106).
3. Naskh hadits dengan Al-Quran
Jumhur ulama sepakat membolehkan, contoh Arah kiblat ke Baitul Maqdis
yang ditetapkan dalam sunah dinasakh oleh ayat Al-Quran, QS Al-Baqarah
[2] : 144 : Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti, contoh :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh ayat :
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tidak memperbuatnya
dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikan
zakat. (QS Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu (QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman Allah :
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-Baqarah [2] : 183 adalah agar puasa kita
seperti ketentuan puasa orang-orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur
dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah
tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.. (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah
empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian
apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai meninggal (QS An-Nisa [4] : 15).
Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina
muhson (sudah pernah menikah) atau dera seratus kali bagi pezina yang
belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 : Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram
Ayat ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
Kewajiban berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum
waris dan diperkuat oleh hadits. Sesungghuhnya Allah telah memberikan
kepada setiap orang yang mempunyai hak akan warisnya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam
hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu..
Ayat ini meng isyaratkan Allah akan membuat perhitungan terhadap
perbuatan dan lintasan hati manusia. Namun pertanggungjawaban lintasan
hati ini dinasakh oleh QS Al-Baqarah [2] : 286 Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara
kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh
Ayat ini melarang kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh
kurang dari sepuluh kali lipat, namun ayat ini di nasakh dengan QS
Al-Anfal [8] : 66 :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang. Ayat ini
membolehkan kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh lebih
dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak mengakui adanya nask hukum dalam mushaf
Al-Quran tetap memberikan argumentasi bahwa ayat-ayat tersebut bukan
nasakh, melainkan hanya mentahsis atau bisa dikompromikan atau berlaku
menurut masa tertentu atau punya sebab berbeda sehingga hukumnya
berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih
berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke
yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.
XIV. Muhkam (jelas) Mutasyabih (samar)
Ayat Al-Quran yang muhkam artinya : jelas dan mudah diketahui maknanya.
Sedangkan ayat Al-Quran yang mutasyabih artinya : samar dan tidak mudah
diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat yang muhkam dengan ayat-ayat yang
nasikh (menghapus) dan masih berlaku hukumnya, ayat-ayat tentang
halal-haram, akidah (rukun iman), tauhid, hudud (hukuman), kewajiban
(ibadah, rukun Islam), janji (pahala, ampunan, surga) dan ancaman (dosa,
laknat, azab neraka), itulah pokok-pokok agama (ushul) karena
ayat-ayatnya muhkam (jelas dan tidak diperselisihkan) maka menjadi
perkara yang qothi (pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : Khalifah Umar pernah membaca ayat,
wafakihatan wa abban Dan buah-buahan dan rumput-rumputan (QS Abasa [80] :
31), lalu ia berkata : Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui,
tetapi apakah yang dimaksud al-ab ?, kemudian Umar berkata kepada
dirinya sendiri : Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu
benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sad dari Anas : Umar berkata kepada
dirinya sendiri : Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak
mengetahui.
3. Ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat
mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui,
Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk,
contoh : Allah bersemayam diatas Arsy, Allah turun ke langit dunia,
Allah melempar, dan datang lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti
binasa kecuali wajahNya, tangan Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqattaah).
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Quran itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Ayat-ayat mutasyabih termasuk dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu ada yang
diketahui tafsirnya oleh ulama yang mendalam ilmunya dan ada yang hanya
diketahui tafsirnya oleh Allah saja. Ayat-ayat mutasyabih ini hanya
sebagian kecil saja dari seluruh Al-Quran, sebagian besar ayat-ayat
Al-Quran adalah muhkam.
Firman Allah dalam QS Ali-Imran [3] : 7
Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu, diantaranya ada
ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan lainnya mutasayabih.
Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan
mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya
kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Imam Malik pernah ditanya tentang makna istiwa (bersemayam) nya Allah
diatas Arsy, maka beliau menjawab : maksud istiwa(bersemayam) telah kita
ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya.
Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana caranya adalah
bidah.
Hikmah adanya ayat Mutasyabih :
1. Menegaskan kemukjizatan Al-Quran, yaitu dalam balagah dan bayan.
2. Mendorong umat untuk menuntut ilmu yang banyak dan mendalam.
3. Merangsang penggunaan kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin, apakah ada yang cenderung mengada-ada mencari tawilnya atas dasar hawa nafsu.
XV. Kaidah Amr (perintah) Nahi (larangan)
Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau suruhan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari
Allah kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila
terdapat petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik
qarinah tersebut berupa susunan bahasa atau tuntutan maknanya secara
keseluruhan maupun karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali
bila terdapat dalil yang menunjukkan kebalikannya. Misalnya QS Al-Maidah
[5] : 6 : Dan jika kamu junub, maka mandilah. Perintah mandi berlaku
berulang bila penyebabnya yaitu junub berulang.
Bentuk bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja perintah (fiil amr), seperti pada QS [4] : 4 :
Dan berikanlah kepada perempuan (Dalam perkawinan) mas kawinnya dengan
ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian
darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang
hati.
2. Menggunakan fiil mudhari dengan didahului lamul-amr, seperti dalam QS [3] : 104 :
Hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada
kebaikan, menyuruh orang berbuat yang maruf dan melarang perbuatan
mengkar. Mereka inilah orang yang beruntung.
3. Bentuk isim fiil amr, seperti pada QS [5] : 105 :
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat
itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
4. Masdar pengganti fiil, seperti pada QS [2] : 83 :
Dan ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil : tidak akan
menyembah selain Allah, berbuat baik kepada orangtua dan kerabat, kepada
anak yatim dan orang miskin dan berbudi bahasa kepada semua orang;
dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Tetapi kemudian kamu berbalik,
kecuali sebagian kecil diantara kamu dan kamu (masih juga) menentang.
5. Kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan, seperti pada QS [2] : 228 :
Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tigak kali quru .
6. Kalimat yang mengandung kata amar, fardhu, kutiba, ala yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib, seperti pada QS [4] : 77 :
Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat.
Ayat tersebut menunjukkan shalat adalah wajib dan yang meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah, seperti pada QS [24] : 33 :
Buatlah perjanjian yang demikian, jika kamu ketahui mereka baik.
Ayat ini menunjukkan perintah tanpa kewajiban, tetapi baik sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki pengulangan pelaksanaan, seperti pada QS [2] : 196 :
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa mengerjakan haji dan umrah itu diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki pengulangan, seperti pada QS [5] : 6 :
Dan bila kamu sedang dalam keadaan junub maka bersihkan dengan mandi penuh.
5. Amr tidak menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 184 :
Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka
(berpuasalah) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.
6. Amr menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 148 :
Masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan.
7. Perintah yang datang setelah larangan bermakna mubah, seperti pada QS [5] : 2 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu langgar lambang-lambang
Allah. Tetapi bila kamu selesai menunaikan ibadah haji, berburulah.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau cegahan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari
Allah kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada petunjuk
(qarinah) yang menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik
qarinahnya itu berupa tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan
bahasanya, maupundari nash lain yang menunjukkan tuntutan terhadap
perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang
dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat
kekal. Para ahli ushul menyebutkan : Menurut asalnya nahi yang mutlak
itu menuntut kesinambungan untuk semua masa.
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fiil nahi, seperti pada QS [17] : 31-34 :
Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kekurangan Dan jangalah
kamu mendekati perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji dan jalan yang
buruk. Dan janganlah kamu menghilangkan nyawa yang diharamkan oleh
Allah, kecuali demi kebenaran Janganlah kamu dekati harta anak yatim,
kecuali untuk memperbaikinya, sampai ia mencapai umur dewasa.
2. Menggunakan lafazh utruk (biarkanlah), seperti pada QS [44] : 24 :
Dan biarkanlah laut terbelah, sebab mereka tentara yang akan ditenggelamkan.
3. Menggunakan lafazh da (tinggalkanlah), seperti pada QS [33] : 48 :
Dan janganlah kau turuti orang-orang kafir dan kaum munafik,
tinggalkanlah (janganlah kau hiraukan) gangguan mereka; tetapi
tawakallah kepada Allah; sebab cukuplah Allah sebagai pelindung.
4. Menggunakah lafazh naha (dilarang), seperti pada QS [59] : 7 :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang
tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah; Allah sangat keras dalam
menjatuhkan hukuman.
5. Menggunakan lafazh harrama (diharamkan), seperti pada QS [7] : 33 :
Katakanlah, Tuhanku mengharamkan segala perbuatan keji, yang terbuka
atau tersembunyi, dosa dan pelanggaran hak orang tanpa alasan;
mempersekutukan Allah, padahal Ia tak memberi kekuasaan untuk itu, dan
berkata tentang Allah yang tidak kamu ketahui.
Ragam pemakaian nahi beserta makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan haram, seperti pada QS [17] : 32
Dan janganlah kamu mendekati zina.
2. Larangan yang menunjukkan makruh, seperti pada HR Tirmidzi :
Janganlah kamu shalat dikandang unta (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya, seperti pada QS [31] : 13 :
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada putranya sambil ia memberi
pelajaran, Hai anakku ! Janganlah menyekutukan Allah; menyekutukan Allah
sungguh suatu kedzaliman yang besar.
4. Nahi bermakna doa, seperti pada QS [2] : 286 :
Ya Tuhan kami, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan
kesalahan; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban
berat seperti yang Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya
Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami
pikul.
5. Nahi bermakna bimbingan, seperti pada QS [5] : 101 :
Hai orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan menyusahkan kamu.
6. Nahi menegaskan keputusasaan, seperti pada QS [66] : 7 :
Hai orang-orang kafir! Janganlah kamu berdalih hari ini! Balasan yang akan kamu peroleh hanyalah atas apa yang kamu kerjakan.
7. Nahi untuk menenteramkan, seperti pada QS [9] : 40 :
Jangan sedih, Allah beserta kita.
XVI. Kaidah Wujuh (banyak makna) Nazhair (satu makna)
Wujuh adalah satu kata yang mempunyai banyak makna, sedangkan nazhair adalah kata yang hanya mempunyai satu makna yang tetap.
Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan yang disandarkan kepada Nabi :
Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Quran sebelum dia mengetahui
makna yang beragam (wujuh) dari Al-Quran.
Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid,
dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda : Sesungguhnya engkau tidak
akan benar-benar paham Al-Quran sebelum engkau mengetahui makna-makna
Al-Quran dalam berbagai ragam.
Diantara lafazh-lafazh yang termasuk dalam kategori wujuh adalah kata
al-huda. As-Suyuthi mengemukakan tujuh belas arti kata tersebut dalam
berbagai tempat sebagai berikut :
1. Tsabat, tetap teguh
Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (QS Al-Fatihah [1] :6).
2. Al-bayan, menjelaskan
Merekalah yang berada dalam penjelasan tuhan dan mereka yang akan berhasil (QS Al-Baqarah [2] : 5).
3. Ad-dien, agama
Katakanlah, Agama yang benar ialah agama . (QS [3] : 73).
4. Iman
Dan Allah menambah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniai iman (QS [19] : 76).
5. Ad Dua, seruan
Dan orang-orang kafir berkata : Mengapa tidak diturunkan kepadanya
sebuah ayat dari Tuhannya ? Tetapi engkau adalah seorang pemberi
peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (QS [13] : 7).
6. Rasul dan kitab
Kami berfirman : Turunlah kamu sekalian dari sini. Maka apabila datang
kepadamu Rasul dan kitab Aku, siapapun mengikuti Rasul dan kitab-Ku tak
ada kekhawatiran dan tak perlu sedih (QS [2] : 38).
7. Al-Marifah, pengetahuan
Dan dia memancangkan diatas bumi gunung-gunung supaya tidak
menggoyangkan kamu dan sungai-sungai serta lorong-lorong supaya kamu
mendapat petunjuk. Dan rambu-rambu dan dengan bintang-bintang mereka
mengetahui (QS [2] : 159).
8. Nabi Muhammad
Mereka menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang kami
turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat
laknat Allah dan laknat mereka yang berhak melaknat. (QS [2] : 159).
9. Al-Quran
Itu hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri, kamu dan moyang kamu,
Allah tidak memberi kekuasaan itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan
dan yang menyenangkan nafsu sendiri. Padahal Al-Quran dari Tuhan sudah
sampai kepada mereka. (QS [53] : 23).
10. Taurat
Dahulu telah kami berikan kepada Musa Taurat. Dan kami wariskan Kitab itu kepada Bani Israil. (QS [40] : 53).
11. Al-Istirja, mohon perlindungan
Mereka berkata, bila ditimpa musibah Inna lillahi wa inna ilaihirojiun
Kami milik Allah dan kepadaNya pasti kami kembali. Mereka itulah yang
mendapat karunia dan rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon
perlindungan (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).
12. Al Hujjah, argumen
Tidakkah tergambar olehmu orang yang berdebat dengan Ibrahim tentang
Tuhannya karena ia telah diberi kekuasaan ? Ibrahim berkata , Tuhanku
Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Ia berkata : Akulah yang membuat
hidup dan membuat mati. Ibrahim berkata, Tapi Allah Yang menyebabkan
matahari terbit dari Timur. Terbitkanlah kalau begitu, dari Barat. Orang
yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberi argumen kepada
orang-orang yang zalim. (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).
13. Tauhid
Mereka berkata, Jika kami akan mengikuti ajaran tauhid bersamamu, tentulah kami akan diusir dari tanah kami. (QS [28] : 57).
14. Sunnah, pedoman perilaku
Ataukah sudah Kami beri kitab kepada mereka sebelum itu, lalu mereka
jadikan pegangan ? Bahkan mereka berkata, Kami sudah melihat leluhur
kami sudat menganut suatu agama, dan kami berpedoman pada mereka. (QS
[43] : 21-22).
15. Al-ishlah, pembenaran
Itulah supaya ia tahu bahwa aku tidak mengkhianatinya ketika ia tak ada,
dan Allah tidak membenarkan tipu muslihat para pengkhianat. (QS [12] :
52)
16. Ilham
Ia berkata : Tuhan kami ialah Yang telah memberikan setiap suatu
(ciptaan) bentuk dan kodratnya, kemudian mengilhaminya. (QS [20] : 50)
17. Taubat
Dan tetapkanlah untuk kami kehidupan yang baik, didunia dan diakhirat.
Sungguh kami bertobat kepadaMu, Ia berfirman, Azabku akan menimpa
siapa-siapa yang Kukehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Dan
akan Kutetapkan (rahmatKu) untuk mereka yang bertaqwa dan yang
mengeluarkan zakat serta mereka yang beriman kepada ayat-ayat kami. (QS
[7] : 156)
Kata-kata lain yang termasuk wujuh adalah su, shalat, rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din, dua.
Sedangkan contoh nazhair adalah kata al-barru yang selalu bermakna darat
dan al-bahru yang selalu bermakna laut. Misalnya dalam ayat :
1. QS Al-Anam [6] : 59
Dia mengetahui apa yang didarat dan dilaut.
2. QS Yunus [10] : 22
Dialah yang memungkinkan kamu menjelajahi daratan dan lautan.
3. QS Al-Isra [17] : 70
Kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan sarana angkutan di darat dan di laut.
Fenomena wujuh dalam Al-Quran merupakan fenomena kewahyuan, dimana
seorang pembaca Al-Quran akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan
wajah nya dari perpekstif dan latar belakang ia membacanya, seperti
permukaan berlian yang memberikan cahaya yang beragam dari semua sudut
pandang yang berbeda-beda.
XVII. Kaidah Isim (kata benda) - Fiil (kata kerja)
Menurut As Suyuthi, isim menunjukkan tetapnya keadaan dan
kelangsungannya. Sedangkan fiil menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru
dan terjadinya suatu perbuatan. Masing-masing kata tersebut mempunyai
tempat tersendiri yang tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lain
untuk tetap menghadirkan makna yang sama. Hakikat makna yang dikandung
ayat berbeda, dengan perkataan kata yang digunakan.
A. Beberapa contoh ayat yang menggunakan isim :
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
Engkau mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami
bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan
kedua kaki depannya diambang pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu
engkau akan berbalik lari dari mereka dan penuh rasa takut.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika
tidur didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka
tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata
benda), tidak dengan fiil (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih
menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
Orang-orang yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan
tak pernah ragu berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka
itulah orang-orang yang tulus hati.
Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama
keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap
syukur. Penggunaan isim muminun menggambarkan keadaan pelakunya yang
terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara
temporer. Mukmin adalah sebutan untuk orang yang keberadadannya
senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang menggunakan fiil :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
Mereka yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau
terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan
tak perlu sedih.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan
keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak,
sebagai sesuatu yang temporal. Manakala seseorang melakukan pekerjaan
ituia berolah pahala dan jika meninggalkan ia tidak memperolah pahala.
2. QS Asy-Syuara [26] : 78-82 :
Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku
makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang
akan membuatku mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan
kuharapkan mengampuni dosa-dosaku pada hari perhitungan.
Isim khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan
selesainya penciptaan pada waktu yang lampau, sedang fiil yahdi dan
lain-lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus
berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga
sekarang.
XVIII. Kaidah Mufrad (tunggal) Jamak (berbilang)
Mufrad adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang menunjukkan satu atau
tunggal. Sedangkan Jamak adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang
berarti lebih dari satu atau banyak.
Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-Quran :
1. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) misalnya : ardh (bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).
2. Kata-kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya :
lubb-albab (orang orang yang memikirkan), kub-akwab (piala-piala).
3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud
atau konteks yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain : Sama
samawat, rih riyah, sabil subul, maghrib magharib, masyriq masyariq.
Kata sama dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk
menunjukkan betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud
adalah arah atas, sebagai lawan bawah.
Kata rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam
konteks azab dan digunakan dalam bentuk jamak jika digunakan dalam
konteks rahmat.
Kata sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam konteks
kebenaran dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan.
Kata masyriq dan maghrib dimufradkan untuk menunjukkan arah, di jamak
kan jika menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni
musim dingin dan musim panas. Dijamakkan karena keduanya adalah tempat
terbit dan tempat terbenam setiap hari.
XIX. Kaidah Dhamir (Kata Ganti), Tadzkir (penunjuk laki-laki) dan Tanits (penunjuk perempuan).
Dhamir (kata ganti) berfungsi untuk menghindari pemborosan kata-kata,
mempersingkat perkataan, tanpa mengubah maknanya, contohnya :
Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang
taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan
perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan
ampunan dan pahala yang besar (QS 33 : 35)
kata hum yaitu mereka pada akhir ayat menggantikan 25 kata yang
disebutkan sebelumnya. Dhamir mempunyai kata yang digantikan yang
disebut isim zhahir (kata yang disebutkan dengan jelas) dan isim marji
(tempat kembali).
Dhamir terdiri atas tiga macam :
1. Kata ganti orang pertama, menggunakan dhamir mutakallim.
2. Kata ganti orang kedua, menggunakan dhamir mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga, menggunakan dhamir ghaib.
Tadzkir (penunjuk laki-laki) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis
gender laki-laki (mudzakkar) dan tanits (penunjuk perempuan) adalah
kata-kata yang menunjukkan jenis gender perempuan (muannats). Untuk
mendalami masalah ini silahkan mempelajari ilmu nahwu (gramatika) Bahasa
Arab.
XX. Kaidah Tarif (Isim Makrifah) dan Tankir (Isim Nakirah)
Isim Makrifah adalah kata benda tertentu, mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Tarif dengan isim dhamir (kata ganti) untuk meringkas kalimat, contoh
QS 33 : 35 : Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan
perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki
dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan
ampunan dan pahala yang besar.
2. Tarif dengan nama diri berfungsi untuk beberapa maksud :
a. Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara
menyebut namanya yang khas, contoh QS 112 : 1-2 : Katakanlah, Dia lah
Allah, Yang Maha Esa, Allah Yang Kekal, Yang Mutlak
b. Memuliakan atau mengungkap identitas, contoh QS 48 : 29 : Muhammad
adalah utusan Allah, orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, kasih-sayang antara sesamanya, akan kau lihat mereka
rukuk dan sujud (dalam shalat), mencari karunia Allah dan ridhaNya.
c. Menghinakan atau meremehkan, contoh QS 111 : 1 : Binasalah kedua tangan Abu Lahab, binasalah dia.
3. Tarif dengan isim isyarah (kata penunjuk), untuk maksud tertentu
a. Menjelaskan yang ditunjuk itu dekat, dengan kata penunjuk hadza atau hadzihi, contoh QS 31 : 11
b. Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jauh, dengan kata penunjuk : dzalika, tilka, ulaika.
c. Menjelaskan keagungan yang ditunjuk dengan menggunakan kata penunjuk jauh : dzalika, contoh QS 2 : 2.
d. Menghinakan dengan kata penunjuk dekat, contoh QS : 29 : 64.
4. Tarif dengan isim maushul karena beberapa alasan :
a. Karena tidak disukai penyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkan, contoh QS 46 : 17
b. Untuk menunjukkan umum, contoh QS 29: 69.
c. Untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 69.
5. Tarif dengan alif dan lam, antara lain berfungsi untuk :
a. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui, karena sudah disebutkan sebelumnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya.
6. Tarif dengan idhafah, antara lain berfungsi sebagai berikut :
a. Memuliakan, contoh QS 15 : 42.
b. Menunjuk pengertian umum, contoh QS 35 : 3.
Isim Nakirah adalah kata benda tak tentu, digunakan untuk beberapa fungsi, antara lain sbb :
1. Menunjukkan tunggal, contoh QS Yasin [28] : 20 : Dan seorang
laki-laki datang tergesa-gesa dari ujung kota. Kata rajulun maksudnya
seorang laki-laki.
2. Menunjukkan ragam-macam, contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 : Sungguh akan
kau dapati merekalah orang yang paling serakah ingin hidup. Yaitu ragam
kehidupan, mencari tambahan untuk masa depan.
3. Menunjukkan tunggal dan ragam sekaligus, contoh QS An-Nur [24] : 45 :
Allah menciptakan semua yang melata dari air. Maksudnya, setiap macam
dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap
individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.
4. Mengagungkan atau memuliakan, contoh QS Al-Baqarah [2] : 279 : Jika
kamu lakukan, ketahuilah, suatu pernyataan perang dari Allah dan
Rasulnya. Kata harb berarti peperangan yang dahsyat .
5. Menunjukkan jumlah yang banyak, contoh QS Asy-Syuara [26] : 42 :
Setelah ahli-ahli sihir datang, mereka berkata kepada Firaun, Tentu kami
akan mendapat imbalan bila kami yang menang ?. Kata ajran ialah pahala
yang banyak.
6. Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus, contoh QS Fatir
[35] : 4: Kalau mereka mendustakan engkau, Rasul-Rasul sebelummu pun
sudah didustakan dan kepada Allah segala persoalan dikembalikan.
Maksudnya, Rasul-Rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
7. Untuk merendahkan, contoh QS Abasa [80] : 18 : Dari bahan apakah Ia
menciptakan ? Dari setetes air mani. Ia menciptakan, lalu membentuknya
menurut ukuran.
8. Menyatakan jumlah yang sedikit, contoh QS At-Taubah [9] : 72 : Allah
menjanjikan kepada orang yang beriman, laki-laki dan perempuan (yaitu)
taman-taman surga . Dan keridlaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan
yang gemilang. Artinya ridla Allah yang sedikit itu lebih besar daripada
surga-surga yang ada, kerena merupakan pangkal kebahagiaan.
9. Menunjukkan pengertian umum jika nakirah tersebut mengandung unsur
nafyi atau nahyi atau syarth atau istifham, contoh QS 82 : 19 : Hari
ketika tak seorang pribadi pun berkuasa atas pribadi yang lain dan
segala urusan hari itu hanyalah semata pada Allah. Kata nafs dalam ayat
tersebut bersifat umum, siapapun orangnya sama, tidak dapat membantu
orang lain.
XXI. Kaidah Hadzful Maful (membuang obyek kalimat)
Kaidah hadzful maful adalah pembuangan obyek dalam kalimat. Apabila
suatu kata kerja (fiil) atau yang mengandung arti kata kerja,
dihubungkan dengan suatu obyek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas
hanya pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika obyek kata itu
ditinggalkan (tidak disebutkan) maka kata tersebut mengandung pengertian
yang lebih luas dan umum.
Contoh-contoh :
1. QS Al-alaq [96] : 1-3
Bacalah dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu yang menciptakan. Menciptakan
manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Dalam ayat diatas setelah kata Bacalah tidak ditemukan obyek (maful).
Padahal lazimnya kata kerja memerlukan obyek atau sasaran yang dikenai
pekerjaan.
Suatu kaidah dari hadzful maful adalah bahwa satu kata yang dalam
susunan redaksinya tidak menyebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud
bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata
tersebut. Dalam contoh diatas, kata bacalah mencakup segala yang dapat
dibaca baik yang tersirat (tulisan) maupun yang tersurat
(tanda-tanda/gejala alam semesta).
2. QS An Nahl [16] : 43
Maka bertanyalah kepada ahl dzikr (ahli ilmu).
Kata bertanyalah diatas tidak dijelaskan obyeknya, bertanya tentang apa.
Jadi diperintahkan bertanya mengenai segala sesuatu yang belum
diketahui.
XXII. Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman)
Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang belum diketahui.
Kata tanya (adatul istifham) terbagi dalam dua kategori :
a. Huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.
Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang
jawabannya memerlukan ya atau tidak, seperti pada QS [5] : 116 :
Dan ingatlah ketika Allah berfirman, Hai Isa putra Maryam! Engkaukah
yang berkata kepada orang : Sembahlah aku dan ibuku sebagai tuhan selain
Allah ? Ia berkata, Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan
apa yang bukan menjadi hakku.
Lafazh hal, adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : Ya atau tidak, seperti pada QS [76] : 1 :
Bukankah sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut ?.
b. Isim istifham, yaitu semua kata tanya selain yang nomor 1, yaitu :
apa (ma), siapa (man), bagaimana (kaifa), kapan (mata), bilamana
(ayyana), dari mana (anna), berapa (kam), dimana (aina), apa, siapa
(ayyu)
a. Lafazh ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal, seperti pada QS [74] : 42-43 :
Apa yangmembawa kamu kedalam api neraka ? Mereka berkata , Kami tidak termasuk golongan orang yang shalat.
b. Lafazh man (siapa), untuk menanyakan makhluk berakal, seperti pada QS [2] : 245 :
Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang
akan Ia lipat gandakan gantinya dengan sebanyak-banyaknya? Allah akan
memberi (kepadamu) kesempitan dan kelapangan (rejeki), dan kepadaNya
kamu dikembalikan.
c. Lafazh mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang, seperti pada QS [2] : 241 :
Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga tanpa suatu cobaan
seperti dialami mereka sebelum kamu? Mereka mengalami penderitaan dan
malapetaka dan jiwa mereka begitu tergoncang, sehingga Rasul pun berkata
bersama orang-orang yang beriman , Bilakah datangnya pertolongan Allah?
Ya, sungguh pertolongan Allah sudah dekat!
d. Lafazh ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang, seperti pada QS [75] : 6 :
Ia bertanya, Bilakah hari kiamat itu ?
e. Lafazh kaifa (bagaimana), untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti pada QS [3] : 101 :
Dan bagaimana kamu akan mengingkari padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan ditengah-tengah kamu pun ada Rasul-Nya?
f. Lafazh anna (dari mana), untuk menanyakan asal-usul, seperti pada QS [19] : 8 :
Dia berkata, Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak, sedang istriku mandul dan aku sudah dalam usia renta ?
g. Lafazh kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan, seperti pada QS [2] : 259 :
Atau seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai
ke atap-atapnya, ia berkata, Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini
setelah mati ? lalu Allah membuat orang itu mati selama seratus tahun
kemudian membangkitkannya kembali. Lalu Allah bertanya, Berapa lama kamu
tinggal disini ? Ia menjawab, Saya tinggal disini sehari atau setengah
hari. Allah berfirman, Tidak, bahkan seratus tahun.
h. Lafazh aina (dimana), digunakan untuk menanyakan tempat, seperti pada QS [81] : 26 :
Maka kemanakah kamu akan pergi ?
i. Lafazh ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa, seperti pada QS [6] : 81 :
Manakah dari kedua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan? (katakanlah) jika kamu mengerti.
XXIII. Kaidah Tanya Jawab
A. Ragam Tanya Jawab
Suatu riwayat asbabun nuzul menyebutkan bahwa sekelompok orang bertanya
kepada Nabi Muhammad tentang bulan sabit, mengapa mula-mula terlihat
kecil seperti benang, lalu bertambah sedikit demi sedikit hingga
purnama, kemudian berkurang lagi hingga kembali ke keadaan semula. Untuk
menjawab hal itu maka Allah menurunkan ayat QS Al-Baqarah [2] : 189 :
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah, itu tanda-tanda waktu untuk manusia dan untuk musim haji.
Jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang
ditanyakan. Jawaban demikian merupakan kehendak Allah. Maksudnya,
jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Redaksi semacam ini oleh
Al-Salaki, seperti dikutip As-Suyuthi disebut uslub hakim.
Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :
Katakanlah , Siapakah yang menyelamatkan kamu dari bahaya yang
mengerikan di darat dan di laut, kamu berdoa kepadaNya dengan rendah
hati dan suara lembut. Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bahaya)
ini tentulah kami akan bersyukur ? Katakanlah, Allah akan menyelamatkan
kamu dari segala bencana. Namun kamu kemudian mempersekutukannya !
Adakalanya jawabannya lebih sempit cakupannya daripada yang ditanyakan. Misalnya pada QS [10] : 15 :
Bila kepada mereka ayat-ayat Kami dibacakan dengan jelas, mereka yang
tidak mengharapkan bertemu dengan Kami berkata, Bawakanlah bacaan lain
dari ini, atau gantilah ! Katakanlah, Tiada semestinya aku
menggantikannya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku. Jika tidak mentaati Tuhanku aku takut akan azab
hari maha dahsyat (yang akan datang).
B. Bentuk-Bentuk Pertanyaan dan Jawaban Dalam Al-Quran
1. Jawaban bersambungan dengan pertanyaan, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 215 :
Mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah : Apa
saja yang baik yang kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapak dan
kearabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan kepada orang terlantar
dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah
mengetahuinya.
2. Jawaban terpisah, baik terdapat dalamsatu surat maupun dalam dua surat yang berlainan, contohnya pada QS [25] : 7 :
Dan mereka berkata : Rasul macam apa ini, makan makanan dan berjalan di
pasar-pasar ? Kenapa tidak diturunkan seorang malaikat kepadanya dan
bersama-sama memberi peringatan.
Jawabannya ada pada ayat yang berbeda, yaitu ayat 20 pada surat yang sama :
Dan Rasul-Rasul yang kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.
3. Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, contohnya QS [43] : 31-32 :
Mereka berkata, Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang
penting dari kedua kota ini ? Ataukah mereka yang membagi-bagikan rahmat
Tuhanmu ? Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka.
4. Jawaban lainnya ada pada QS [28] : 68 :
Dan tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tak ada pilihan.
5. Pertanyaan yang tidak diberikan atau tidak memerlukan jawaban, contohnya pada QS [47] : 14 :
Adakah orang yang berpegang pada (jalan) yang terang dari Tuhannya, sama
dengan orang yang menganggap indah perbuatannya yang buruk dan
mengikuti hawa nafsu mereka ?
6. Jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaan, contohnya pada QS [38] : 4
Shad, demi Al-Quran yang penuh peringatan.
Ayat diatas sebagai jawaban atas pertanyaan keheranan orang musyrik
Mekkah yang disebutkan lebih dahulu dari pertanyaan keheranan mereka
pada ayat sesudahnya, yaitu QS [38] : 4 :
Mereka keheranan ada seorang pemberi peringatan datang dari kalangan
mereka sendiri, orang-orang kafir lalu berkata : dia seorang seorang
tukang sihir dan pendusta.
XXIV. Kaidah Syarat Jawab
Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi dalam dua bagian :
1. Kata syarat yang menjazamkan fiil : in, idzma, ma, mata, man, kaifama, haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.
2 Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.
Kalimat yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.
Beberapa Contoh Kata Syarat Dalam Al-Quran :
1. In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.
2. Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.
3. Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.
4. Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132
5. Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.
6. Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.
7. Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.
Perbedaan Penggunaan In dan Idza :
Menurut ketentuan asal, mutakallim (orang pertama) tidak bisa memastikan
terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan
kata syarat in. Ia dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus
bedampingan dengan lafazh mudhari (kata kerja sekarang atau yang akan
datang), sebab terdapat segi keraguan tentang terjadinya.
Adapun kata syarat idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaan
mutakallim optimis terjadinya apa yang disyaratkan dimasa yang akan
datang. Oleh karena itu, idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa
keadaan yang banyak terjadi dan berdampingan dengan bentuk madhi (kata
kerja bentuk lampau), karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti
terjadi, contohnya dalam QS [7] : 131 :
Bila mereka mangalami musim yang baik, mereka berkata, Inilah usaha
kami. Tetapi jika mereka ditimpa yang buruk, mereka melemparkan
sebab-sebabnya pada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, nasib mereka
ditangan Allah; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Hadzf Jawabusy Syarth
Menurut As Sadi yang dikutip Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya
Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran, apabila jawabusy-syarth dari jumlah
syartiyyah dibuang, itu menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan.
Jika ia membicarakan masalah siksa maka itu menunjukkan dahsyatnya
siksaan tersebut, contohnya :
Sekiranya engkau dapat melihat ketika orang-orang jahat menundukkan
kepala dalam-dalam dihadapan Tuhan (sambil berkata), Tuhan, kami melihat
dan mendengar. Maka kembalikanlah kami (ke dunia); kami akan
mengerjakan amal kebaikan. Sungguh, (sekarang) kami telah yakin. (QS
[32] : 12).
Sekiranya kau lihat ketika mereka dalam ketakutan, tapi tak dapat
melarikan diri, dan keadaan mereka ditangkap dari tempat yang dekat dan
mereka berkata, Kami sekarang percaya (pada kebenaran). Tapi bagaimana
mereka akan beriman dari tempat yang jauh dan sebelumnya mereka sudah
menolaknya dan mereka (terus-menerus) melemparkan (penghinaan) kepada
yang ghaib dari tempat yang jauh. (QS [34] : 51-53).
XXV. Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)
Petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi
(mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan
pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan
makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan
makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh
ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan
nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk
lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda
dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain
meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 famanidlthurro
ghaira baghi wa la ad. Lafazh al-bagh digunakan untuk makna al-jahil
(bodoh, tidak tahu) dan az-zalim (melampaui batas, zalim). Tetapi
pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna
inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga
dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci .
Berhenti haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut
tuhr. Namun penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat,
jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan
penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh
(lemah).
3. Muawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada
sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih.
Muawwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih
sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan
muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna
ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya
dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istida adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada
makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak
disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka
(wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang
lain.
Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia
berbuka, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia
berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka
baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa [4] :
23 :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu
kata bersenggama, sehingga maknanya yang tepat adalah diharamkan atas
kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada
makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS
Al-Baqarah [2] ; 187 :
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari
masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai
dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan
demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub.
Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula
melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan bercampur sampai pada bagian
waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi
sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan
junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada
bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang
tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq.
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus
diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah .
Ayat ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati
kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum
muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih
diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman
perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti :
membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga
diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq.
3. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat manawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang
dibawa oleh orang fasik. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik
(mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik
tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang
adil dan tsiqoh wajib diterima.
4. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri
yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi
nafkah.
5. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak
tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai
maka menjadi halal dikawin lagi.
6. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
XXVI. Kaidah Makna Kata (lafazh)
A. Makna Hakikah (lahir)
Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah diklasifikasikan menjadi :
1. Lughawiyyah Wadhiiyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan
makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain
itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata
rajul yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.
2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan
makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan
oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa
diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena
kebiasaan. Misalnya kata ad-dabbah (hewan melata) menjadi makna lain
yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua
mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan.
Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat
sehingga makna asalnya ditinggalkan.
b. As-Syariyyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna
asal kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang
melakukan transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi
maknanya harus berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat,
shiyam (puasa), kafir, haji dan lain-lain.
B. Makna Majaz (kiasan)
Makna majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna
kata yang lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan
makna hakiki.
Klasifikasi makna majaz :
1. Istiarah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru
disebabkan adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang
elok dengan dengan bulan purnama : wajah anda bagai bulan purnama.
Istiarah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Istiarah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :
Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.
Kata gelap-gulita dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan
kata cahaya dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.
b. Istiarah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian
digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya
pada QS Al-Isra [17] : 24 :
Rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh
kash sayang dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Obyek yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata
burung dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu
sayap.
c. Istiarah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi
kiasan bagi yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan
membayangkan bahwa yang dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang
menjadi kiasan. Misalnya pada QS Al-Mulk : [67] : 8 :
Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali
dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga
(neraka itu) bertanya kepada mereka, Apakah belum pernah datang kepada
kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?
d. Istiarah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan
pada tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu
dengan dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya
pada QS Al-Mulk [67] : 22 :
Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak
mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang
lurus ?
Orang yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk
orang-orang mukmin, sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal
adalah kiasan untuk orang-orang kafir.
3 Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna
yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal
dibagi menjadi empat :
a. Juziyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2
Bangunlah dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).
Bangunlah maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud
keseluruhannya yaitu shalat, jadi bangunlah adalah majaz untuk
shalatlah.
b. Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah [2] : 19
Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.
Anak jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah
salah satu dari anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari
dimasukkan untuk menyumbat telinga.
c. Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 194 :
Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Kata seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang dimaksud seranglah adalah balaslah.
d. Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS Al-Baqarah [2] : 61 :
Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang-putihnya, kacang-adasnya dan
bawang-merah nya.
Yang menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya
adalah di bumi maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah
apa yang Allah tumbuhkan di bumi itu.
C. Musytarak (ambigu)
Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai
lafazh musytarak sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari
ayat Al-Quran yang lain maupun dari sunnah (riwayat hadits).
Contoh-contoh lafazh musytarak :
1. QS Al-Baqarah [2] : 228
Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber iddah) tiga kali quru.
Kata quru bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).
2. QS An-Nisa [4] : 43 :
Atau kamu telah menyentuh perempuan
Kata lamasa bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.
3. QS Al-Maidah [5] : 38 :
Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Kata yad bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai bahu.
XXVII. Kaidah Am (umum) Khas (khusus)
A. Lafazh am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juziyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.
Berdasarkan keumuman lafazh keluarga pada firman Allah diatas yang maka
Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon
kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal
itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau
adalah benar.
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
Allah berfirman, Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata keluargamu yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah),
niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak
sedikitpun dianiaya.
b. QS An-Nisa [4] : 123
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiun (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra [17] : 110 :
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang
bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya
pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.
b. QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka.
6. Lafazh masyara, maasyira, ammah, qatibah dan sairun :
a. QS Al-Anam [6] : 130 :
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul
Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan
memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini ?
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.
7. Isim berbentuk jama yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 42 :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti
ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa
[4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.
10. Amr (perintah) dengan bentuk jama (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku .
Macam-macam penggunaan lafazh am (umum) :
a. Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.
Kata ahadan tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.
Kata ummhat ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali Imran [3] : 39 :
Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
B. Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juziyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa [4] : 23 :
(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah
disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu
boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara maruf, (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertaqwa.
Kalimat jika ia meninggalkan harta yang banyak adalah syarat, maka bila
seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib
berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.
Kalimat sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain
a. Ayat Al-Quran yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber iddah) tiga kali quru.
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai,
baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian
ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
b. Hadits (men takhsis Al-Quran dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari
persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain. (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang)
yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang
demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu
seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta
itu beranak dan anak onta itu beranak pula. (HR Muttafaqun alaihi).
c. Ijma (men takhsis Al-quran dengan Ijma).
Contohnya pada QS An-Nisa [4] : 11 :
Allah mensyariatkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan.
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma bagi laki-laki yang berstatus budak..
d. Qiyas (men takhsis Al-Quran dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap
perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum
dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut
dalam QS An-nisa [4] : 25 :
Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
e. Akal (men takhsis Al-Quran dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Radu [13] : 6 :
Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Quran dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita
(Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Quran dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-Araf [7] : 163 :
Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut . ?
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang
suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan
desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh am, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Quran terdapat lafazh yang bersifat khas
(khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti,
selama tidak terdapat dalil yang mentawilkannya dan menghendaki makna
lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat am (umum) dan tidak terdapat dalil yang
meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib
diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua
satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis
nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah
dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan
makna yang umum tersebut.
XXVIII. Kaidah Mujmal (global) Mufassar/Mubayyan (ditafsirkan/dijelaskan)
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal
maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syari, karena
memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang
terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa [4] : 176, lafazh
kalalah adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal
dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak.
Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan
yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan
tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Quran yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
Padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya kecuali Allah dan orang yang
mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Kalimat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah mujmal karena
ambigutias huruf wawu, yaitu kata dan. Bisa berkonotasi kata penghubung
(athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (istinaf). Jika kata dan
dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah
hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui
takwilnya. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru,
maka konotasinya adalah hanya Allah yang mengetahui takwilnya sedangkan
orang-orang yang mendalam ilmunya yang notabene tidak tahu takwilnya-
berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih. Oleh karena itu,
hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam
satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.
Ayat ini menunjukkan Al-Quran diturunkan sebagai penjelasan segala
sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi
berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf dan pada QS Ali-Imran
[3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah yang
mengetahui tawil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya.. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat
demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
Kata kekuatan pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada
datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada
diatas mimbar- Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat
sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang)
bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak
mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan
cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang
dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan dirikanlah shalat
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang
masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka
untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan
sholat hingga sempurna, lalu bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana
kalian telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan
cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh
para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau
mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga
kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh
Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan
kemudian beliau meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya
(tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya
Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu
pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk
menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan tawil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syari terhadap lafazh yang mujmal
itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal
tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara
rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah
(petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu
terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna
yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Kata delapan puluh adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.
Kata semuanya itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat
penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak
mengandung kemungkinan tawil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya
tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih
global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut
dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti
yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
XXIX. Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) Muqayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka)
memerdekakan seorang budak .
Lafazh budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa [4] :92 :
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak
yang beriman
Lafazh budak diatas dibatasi dengan yang beriman
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil
yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi
batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan
menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa [4] : 11 :
(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi
jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan
oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, Tidak ada wasiat lebih dari
sepertiga harta pusaka. Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas
menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan wasiat yang kurang
dari batas sepertiga dari harta pusaka.
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.
Lafazh darah pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-Anam [6] : 145 :
Katakanlah, Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku
(tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir
atau daging babi.
Lafazh darah pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh yang mengalir.
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh darah yang tersebut
pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke
muayyad, yaitu darah yang mengalir.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa [4] : 43 :
.Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
lafazh (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu bersuci tapi pada
segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa [4] : 43
adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah
membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir iddahnya, maka
rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.
Lafazh saksi pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah
kamu menuliskannya dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
(diantara kamu).
Lafazh saksi pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan laki-laki.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu mengadakan dua orang
saksi. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq
[65] : 2 ialah rujuk pada istri sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] :
282 adalah : hutang-piutang.
b. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka
sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga
berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
XXX. Terjemah, Tafsir dan Tawil
A. Terjemah (Translate)
Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada
bahasa yang lain. Terjemah dibagi dua yaitu secara harfiah (litterlijk)
dan secara tafsiriyyah (manawiyah). Terjemahan secara harfiah
(litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk orang awam yang umum, kecuali
untuk pelajar yang mempelajari bahasa.Terjemahan yang disarankan untuk
orang awam yang umum adalah terjemahan yang tafsiriyaah (manawiyah).
Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah :
Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-papan dan
paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi
orang-orang yang tidak dipercayai
maka terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa dipahami. Maka terjemahan yang baik adalah secara manawiyyah, yaitu :
Dan kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari)
papan-papan dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat itu).
Ia (kapal itu) berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran bagi
orang-orang yang tidak dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya, yakni
kaum Nabi Nuh).
B. Tafsir dan Tawil
Ulama dahulu (mutaqaddimin) tidak membedakan antara tafsir sengan tawil,
berkata Mujahid : Sesungguhnya para ulama mengetahui tawil Al-Quran
maksudnya yaitu tafsir maknanya. Sedangkan ulama kemudian
(mutaakhkhirin) membedakan antara tafsir dengan tawil.
Tafsir adalah penjelasan tentang makna yang lahir (zhahir) dari ayat
Al-Quran sedangkan tawil mengambil sebagian makna dari makna-makna yang
dikandung Al-Quran.
Contoh, dalam QS at-Taubah [9] : 41 : Berangkatlah kamu (ke medan
perang) baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat. Frasa
kalimat merasa ringan ataupun berat di tawil dengan dalam keadaan tua
ataupun muda.
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Quran itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
XXXI. Perkembangan Tafsir
A. Masa Sahabat
Ibnu Khladun dalam kitab Muqaddimah-nya menjelaskan : Al-Quran
diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena
itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa
kata maupun susunan kalimatnya.
Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa
yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui
oleh yang lain.
Riwayat Mujahid dari Ibnu Abbas : Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus
samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar
tentang sumur. Salah seorang mereka berkata : Ana fatartuha, maksudnya
ana ibtadatuha (akulah yang membuatnya pertama kali).
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran berpegang kepada :
1. Al-Quran, yaitu penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lain.
2. Penjelasan Nabi, mereka bertanya langsung kepada Nabi apabila menemui kesulitan dalam memahami makna Al-Quran.
Riwayat dari Ibnu Masud : Ketika turun ayat Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman (QS AlAnam [6] : 82).
Hal ini sangat meresahkan hati para sahabat, mereka bertanya : Ya
Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap
dirinya ?, Beliau menjawab : Kezaliman disini bukanlah seperti yang
kalian pahami. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan hamba yang
saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman
yang besar (QS Luqman [31 : 13), kezaliman disini sesungguhnya adalah
syirik.
3. Pemahaman dan ijtihad. Diantara para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan Al-Quran adalah empat khulafaur rasyidinh, Ibnu Maud, Ibnu
Abbas, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asyari, Abdullah bin
Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah
bin Amr bin Ash dan Aiysah ummul mukminin.
B. Masa Tabiin
Setelah penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada
era Khalifah Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota
Madinah untuk mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para
sahabat menyebar ke berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di
tempatnya masing-masing :
Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabiin yang
menjadi muridnya adalah : Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu
Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Kaab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat
Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabiin adalah : Zaid bin
Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Kaab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Masud, yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ray (akal). Tabiin yang menjadi
muridnya antara lain : Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid,
Murrah Al-Hamazani, Amir Asy-Syabi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin
Diamah as-Sadusi.
Pada masa ini sebagian ulama ahli kitab (Yahudi) ada yang masuk Islam,
sebagian tabiin menukil dari mereka Israiliyat yang kemudian dimasukkan
ke dalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam,
Kabul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij.
C. Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal
pemerintahan Bani Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka
adalah : Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syubah bin al-Hajjaj
(wafat 160 H), Waki bin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat
198 H0, Rauh bin Ubadah al-Basri (wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam
(wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220 H) dan Abd bin Humaid (wafat
249 H). Kitab tafsir pembukuan pertama ini tidak ada yang sampai kepada
kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan pada kitab-kitab tafsir
bil masur periode sesudahnya.
Generasi berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara
independen serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan
terpisah dari hadits. Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H),
Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi
(safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat 327 H), Abusy Syaikh bin Hibban
(safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu Bakar bin Mardawaih (safat
410 H).
Kemudian ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus
meningkat, masalah-masalah kalam semakin berkobar, fanatisme mazhab
menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur
dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung
mazhabnya masing-masing. Itu semua membuat tafsir ternoda oleh iklim
yang tidak sehat tersebut, sehingga para mufasir dalam menafsirkan
Al-Quran berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai
kecenderungan. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya
kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih
hanya membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi.
Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita seperti As-Salabi dan
Al-Khazin. Tafsir ahli kalam punya kecenderungan mendukung mazhabnya
seperti Al-Jubai, Qadi Abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari Muzilah, Mala
Muhsin al-Kasyi dari Syiah al-Isna Asyriyah, Ibnu Arabi dari golongan
Tasawwuf hanya mengemukakan makna-makna yang tersirat (isyari).
Kemudian datanglah masa modern yang memperhatikan masalah kotemporer
(kekinian), aspek sosial, keindahaln uslub dan kehalusan ungkapan,
diantara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammd Rasyid
Ridha, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayyid Qutub dan Muhammad Izzah
Darwazah.
Jenis-Jenis Tafsir
1. Tafsir bil Matsur
Yaitu tafsir yang didasarkan pada nukilan-nukilan yang sahih menurut
urutan, yaitu : Al-quran, hadits, pendapat sahabat, pendapat tabiin.
2. Tafsir bir-rayi (akal)
Yaitu tafsir yang didasarkan pada ijtihad sendiri berdasarkan akal semata
3. Tafsir Isyari (isyarat)
Yaitu tafsir yang didasarkan pada isyarat yang kadang tidak tertangkap
dari tekstual lahirnya. Contoh tafsir isyari adalah tentang ayat Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (QS an-Nasr [110] : 1)
maka Ibnu Abbas menafsirkan itu adalah isyarat tentang ajal Rasulullah
yang sudah dekat.
Tafsir isyari ini banyak digunakan oleh kaum sufi berdasarkan kasyf atau
ilham laduni dalam memahami isyarat makna batin dari Al-Quran.
Menurut Ibnul Qayyim, tafsir isyari dapat diterima apabila memenuhi empat persyaratan :
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat.
2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil).
3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut.
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat dipahami oleh akal yang sehat.
4. Tafsir Tematik.
Yaitu tafsir yang hanya membahas pada tema-tema khusus tertentu, seperti
yang berhubungan dengan hukum (ahkam), majaz, Nasikh-Mansukh,
Asbabul-Nuzul.
5. Tafsir Garib (janggal)
Yaitu penafsiran kata-kata yang asing atau ayat mutasyabih yang
dipaksakan untuk ditafsirkan maknanya, atau penafsiran berdasarkan rayu
semata yang sulit diterima oleh akal sehat. Contoh :
a. Firman Allah dalam QS An-Naziat [79] : 17 Pergilah engkau (Musa)
kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Kata Firaun
ditafsirkan sifat buruk yang ada pada setiap manusia.
b. Firman Allah dalam QS Al-Maidah [5] : 55 Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dikatakan bahwa makna orang-orang yang beriman adalah para Imam Syiah
yang dua belas. Kemudian mereka tunduk diartikan Sayyidina Ali.
32. Syarat dan Adab Bagi Mufasir
A. Syarat-syarat Mufasir :
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran terlebih dahulu.
4. Mencari Penafsiran dari hadits.
Firman Allah dalam QS An-Nisa[16] : 44 :
Dan kami turunkan kepadamu ad-dzikr (Al-Quran) agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan
5. Mencari penafsiran dari pendapat (atsar) sahabat, yaitu bila tidak
dijumpai penafsiran dari hadits nabi yang maqbul (diterima).
6. Mencari penafsiran dari pendapat tabiin, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran dari para sahabat Nabi.
7. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu
(gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), maani, bayan
(kejelasan) dan badi (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata
dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk
kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal
untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan)
apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.
8. Mengetahui ilmu ushul tafsir, yang meliputi seluruh pembahasan pada point VII. Ushul tafsir diatas.
9. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabiin.
10. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
11. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash,
serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan
dengan syariat.
B. Adab Mufasir :
1. Berniat baik dan bertujuan benar.
2. Berakhlak baik.
3. Taat dan beramal.
4. Berlaku jujur, teliti dan obyektif.
5. Tawadu dan lemah lembut.
6. Berjiwa mulia dan menjaga muruah (kehormatan diri dan agama).
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran.
8. Berpenampilan dan berperilaku yang baik.
9. Bersikap tenang dan mantap.
10. Menghormati pendapat orang lain yang lebih utama.
11. Mempersiapkan dan menempuh metode pnafsiran yang baik.
XXXIII. Kitab Kitab Tafsir yang Terkenal
A. Tafsir bil Masur
1. Tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas Tanwirul Miqbas min Tafsiri
Ibn Abbas- disusun oleh Abu Tahir Muhammad bin Yaqub al-Fairuzabadi
asy-Syafii.
2. Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jamiul bayan fi tafsiril Quran.
3. Tafsir Ibn Abi Hatim
4. Tafsir Abusy Syaikh bin hibban.
5. Tafsir Abu Lais as-Samarqandhi, Bahrul-Ulum.
6. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan an tafsiril Quran.
7. Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Quranil Adzim.
8. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Matsur.
9. Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.
B. Tafsir bir rayu
1. Tafsir Abu Ali al-Jubai (salah satu tokoh Mutazilah).
2. Tafsir Qadi Abdul Jabbar.
3. Tafsir Zamakhsyari, al-Kasysyaf an haqaiqi gawamidit tanzil wa uyunil aqawil fi wujuhit tawil.
4. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
5. Tafsir an-Nasafi, Madarikut tanzil wa haqaiqut tawil.
6. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
7. Tafsir Al-Baidawi, Anwarut tanzil wa asrarut tawil.
8. Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan muridnya Jalaluddin as-Suyuthi.
9. Tafsir al-Qurtubi, Al-Jamili Ahkamil Quran.
C. Tafsir Isyari
1. Tafsir Gharaibul Quran wa Raghaibul Furqan, karya Syeikh Nizhamuddin
al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani an-Naisaburi.
2. Tafsir Al-Quranul Azhim, karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah at-Tustari
3. Tafsir Ruhul Maani, karya Syihabuddin as-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi.
4. Tafsir Haqaiqut Tafsir, karya Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-Asad as-Sulami.
D. Tafsir Modern
1. Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridha.
2. Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi.
3. Tafsir Fi Zilalil Quran, karya Sayyid Qutub.
4. Tafsir al-Jawahir, karya Thantawi Jauhari.
5. Tafsir Fathul Bayan, karya Shidiq Hasan Khan.
34. Biografi Singkat Beberapa Mufasir.
A. Ibnu Abbas
Beliau adalah putra paman Nabi yaitu Abbas bin Abdul Munthalib,
dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syib, tiga atau tahun sebelum
hijrah. Ketika Rasulullah meninggal Ibnu Abbas baru berumur 13 tahun.
Ketika perang siffin beliau berada di al-Maisarah, kemudian diangkat
sebagai gubernur Basrah oleh Khalifah Ali. Setelah Khalifah Ali terbunuh
beliau menetap di Mekkah.
Ibnu Abbas dikenal sebagai Turjumanul Quran (juru tafsir Al-Quran),
Habrul ummah (tokoh ulama umat) dan Raisul Mufassirin (pemimpin para
mufasir). Dalam Mujam al-Bagawi dan lainnya meriwayatkan dari Umar :
Bahwa Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata, sungguh saya pernah melihat
Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan
berdoa, Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah
kepadanya tawil.
Riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak
terhitung banyaknya, mulai dari yang sahih, hasan, munqathi , dhaif
sampai maudlu.
Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Masud : Juru tafsir Al-Quran yang terbaik adalah Ibnu Abbas.
Abu Nuaim meriwayatkan dari Mujahid : Adalah Ibnu Abbas dijuluki dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.
B. Mujahid bin Jabr
Beliau dilahirkan pada 21 H, masa Khalifah Umar. Mujahid adalah pemimpin
atau tokoh utama mufasir generasi tabiin, Ia belajar tafsir kepada Ibnu
Abbas. Ia juga banyak meriwayatkan dari Ali, Sd bin Abi Waqqas, empat
orang Abdullah, Rafi bin Khudaij, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah,
Suraqah bin Malik dan lainnya.
Sufyan Tsauri berkata : Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu.
Berkata Ibnu Taimiyah : Syafii, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya.
Az-Sahabi berkata : Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka
yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir
belajar.
C. Ibn Jarir at-Tabari
Lahir 224 H di Baghdad dan meninggal 310 H dikota yang sama. Ulama yang
luas ilmunya, banyak meriwayatkan hadits, ahli dalma pen-tarjih-an
(seleksi yang lebih kuat) riwayat-riwayat, banyak mengetahui sejarah
tokoh dan kisah terdahulu.
Kitab tafsirnya Jamiul Bayan fi Tafsiril Quran merupakan kitab tafsir
paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting para mufasirin bil
masur.
Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istimbath
(penyimpulan) yang unggul dan pemberian isyarat pada kata-kata yang
samar irabnya. Imam Nawawi dalam Tahzibnya berkata : Kitab Ibn Jarir
dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun pernah
menyusun kitab yang menyamainya. Ibnu Katsir, tokoh mufasir yang
sesudahnya banyak menukil darinya.
D. Ibn Katsir
Nama lengkapnya Ismail bin Amr al-Qurasyi bin Katsir al-Basri
ad-Dimsyaqi Imaduddin Abul Fida al-Hafiz al-Muhaddits asy-Syafii. Lahir
705 H dan wafat 774 H.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Atsqolani berkata : Beliau adalah seorang ahli
hadits yang faqih, karangan-karangannya tersebar luas diberbagai negeri
semasa hidupnya dan dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya.
Kitab tafsirnya Tafsirul Quranil Adzim merupakan tafsir paling masyhur
meriwayatkan dari mufasir generasi salaf dan menjelaskan makna-makna dan
hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan irab dan morfologi yang
bertele-tele seperti yang dilakukan kebanyakan mufasir juga menjauhi
pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak significant.
Tafsirnya dimulai dengan menafsirkan ayat dengan ayat Al-Quran yang
lain, kemudian dengan pendapat sahabat, pendapat tabiin dan ulama salaf
sesudahnya. Menukil Israiliyat yang relevan dengan tetap memberi
peringatan akan cerita-cerita Israiliyat yang munkar.
E. Fakhruddin ar-Razi
Lahir di Ray 543 H dan wafat di Harah tahun 606 H. Sangat menguasai ilmu
mantiq (logika), filsafat serta menonjol dalam ilmu kalam. Kitab
tafsirnya Mafatihul Gaib berisi uraian mengenai kedokteran, logika,
filsafat dan hikmah serta membawa kepada persoalan-persoalan ilmu aqliah
yang bukan untuk itu nash diturunkan. Oleh karena itu kitab tafsir ini
kurang memiliki ruh Islam, seorang penilai mengatakan tentang kitab
tafsirnya : Didalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu
sendiri.
F. Az-Zamakhsyari
Nama lengkapnya Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari.
Dilahirkan tahun 467 H di Zamakhsar. Beliau sangat ahli dalam ilmu
bahasa, mani dan bayan. Bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab imu
nahwu dan balagah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang
dikutip dari kitab zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka
mengatakan :Zamakhsyari telah berkata dalam kitab Al-Kasysyaf atau dalam
Asasul Balagah-nya. Beliau orang yang mempunyai pendapat dan hujjah
sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Bukan type orang yang suka
mengikuti langkah-langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip
saja, tetapi ia mempunyai pendapat orisinal yang jejaknya ditiru dan
diikuti oleh orang lain. Imam Zamakhsyari ber mazhab Hanafi dalam fikih
dan ber akidah Mutazilah. Beliau menafsirkan Al-Quran cenderung kepada
mazhab dan akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang
ahli.
G. As-Syaukani
Nama lengkapnya Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani
as-Sanani, seorang imam mujtahid. Dilahirkan di kampung Syaukan pada
1173 H dan meninggal tahun 1250 H. Dalam fikih beliau ber mazhab
Zaidiyah. Kitab tafsirnya Fathul Qadir menggabungkan antara riwayat,
penalaran dan istinbath atas nash-nash ayat.
Semoga bermanfaat.