Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Quran menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan
dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al
Quran. As Suyuthi berkata : Jibril menurunkan beberapa ayat kepada
Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus
diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu
Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya
di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : Letakkanlah
ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,
atau Letakkanlah ayat ini ditempat anu.
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai
mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah
mushaf Usmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf
Ibnu Masud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan
An-Naas. Mushaf Ubay Bin Kaab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa kemudian
Ali-Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak
dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma (sepakat)
adalah tertib susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi
oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan.
Tentang tertib susunan surah Al-Quran, jumhur ulama mengatakan bahwa
tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : Tertib surah seperti yang
kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud,
Al-Quran sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi
membacakan dihadapan Malakikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa
yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya
Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Quran itu taufiqi kecuali
surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : Aku
bertanya kepada Usman : Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang
termasuk katagori masani dan Baraah (At-Taubah) yang termasuk miin untuk
kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara
keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada
as-sabut tiwal (tujuh surat panjang) ?, Usman menjawab : Telah turun
kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat. Apabila
ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan
mengatakan : Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat
ayat anu dan anu. Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di
Madinah sedang surah Baraah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah
dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Baraah, sehingga aku
mengirabahwa surah Baraah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai
wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Baraah
merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut
aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sabut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-Quran
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu :
Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-Anam, Al-Araf , ketujuh :
Al-Anfal dan At-Taubah sekaligus, sebagian ada yang mengatakan yang
ke-tujuh surah Yunus.
2. Al-Miun : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Miun.
Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih bnayak
dari At-Tiwal dan Al-Miun.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula yang
mengatakan dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena banyaknya
pemisahan fasl (pemisahan) dinatara surah-surah tersebut dengan
basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Quran
hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin
mushaf Al-Quran yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan
Khalifah Usman. Mengenai penulisan Al-Quran dengan rasm Usmani ini ada
beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang wajib
dipakai dalam penulisan Al-Quran. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya
Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan
menjadi Ijma umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak
boleh menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang
mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya
jika menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla
dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar
Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Quran yang menyalahi rasm Usmani.
Ijam (penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam
sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami
kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para
penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan
syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang
benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal
ini adalah Abul Aswad Ad-Duali, peletak pertama dasar-dasar kaidah
bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa
satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal
huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari
huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah
fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, dammah dengan wawu
kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa (double).
Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi
tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak
(halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak
diberi tanda apa apa ketika idgam dan ikkhfa. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak
diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah;
keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena
khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Quran, berdasarkan ucapan Ibnu
Masud : Bersihkan Al-Quran dan jangan dicampuradukkan dengan apapun.
Al-Halimi mengatakan : Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan,
nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf sedangkan pemberian titik
diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan
antara yang Al-Quran dengan yang bukan Al-Quran. Titik merupakan
petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk
mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Al
Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : Tidak ada salahnya memberikan
titik pada mushaf. Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : Tidak
mengapa memberi syakal pada mushaf. An-Nawawi mengatakan : Pemberian
titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat
menjaga mushaf daru kesalahan dan penyimpangan (pembacaan).
Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya
dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Quran Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai turunnya Al-Quran dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : Rasulullah berkata : Jibril membacakan (Al-Quran)
kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan
meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai
tujuh huruf.
Dari Ubay Bin Kaab : Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia
didatangi Jibril seraya mengatakan : Allah memerintahkanmu agar
membacakan Al-Quran kepada umatmu dengan satu huruf. Beliau menjawab :
Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku
tidak dapat melaksanakan perintah itu. Kemudian Jibril datang lagi untuk
kedua kalinya dan berkata : Allah memerintahkanmu agar membacakan
Al-Quran kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab : Aku memohon
kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat
melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu
mengatakan : Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Quran kepada
umatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab : Aku memohon kepada Allah
ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya. Kemudian
Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : Allah
memerintahkanmu agar membacakan Al-Quran kepada umatmu dengan tujuh
huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar.
Hadis-hadis berkenaan dengan Al-Quran dengan tujuh huruf sangat banyak.
As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh
lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam
menetapkan kemutawatiran hadis mengenai Al-Quran dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang
sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim
dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabiah, Sad. Pendapat ini maksudnya
satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah
diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Quran
diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan
Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Quran
mencakup dari tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di
seluruh Al-Quran
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wad (janji),
waid (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal
(perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu
ikhtilaf dalam : asma (kata benda), irab (harakat akhir kata), tasrif,
taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan
lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
Hikmah Al-Quran dengan tujuh huruf :
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca
tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Quran bagi naluri atau watak dasar kebahasaan
orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk
membuat satu surah saja yang seperti Al-Quran, ternyata seluruh orang
Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi
peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan
hukumdan ijtihad ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
IV. Ijaz (Kemukjizatan) Al-Quran
Kata mukjizat berasal dari kata ajaz (lemah).Ijaz dapat diartikan
mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain
tak berdaya. Ijazul Quran adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan
yang dimiliki Al-Quran yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara
terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal
yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Quran itu meliputi tiga aspek,
yaitu : aspek bahasa (sastra, badi, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah
(science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri (penetapan
hukum syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Quran sebagai berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa
menyamai Al-Quran, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai
sekarang ini.
4. Betuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian
memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7. Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Quran.
8. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya
V. Munasabah (Korelasi)
Munasabah adalah ilmu yang membahas korelasi urutan antar ayat Al-Quran
dan atau antar surah Al-Quran. Pengetahuan tentang munasabah akan
membantu memahami makna ayat Al-Quran. Kadang ditemukan kaitan umum atau
khusus diantara ayat-ayat Al-Quran baik yang rasional, inderawi maupun
imajinatif tanpa mengupas lafazh-lafazh menurut makna peristilahan
bahasa maupun pemikiran filosofis. Sebagian besar kaitannya berkisar
sekitar sebab dan musabab. Jika ayat-ayat itu tidak saling bertemu,
tidak terdapat kecocokan, tentu berhadapan dengan lawannya. misalnya
menyebut rahmat setelah azab, menerangkan keadaan sorga dan neraka,
mengarahkan hati nurani serta membangkitkan akal pikiran dan memberikan
peringatan serta mengutarakan ketentuan hukum.
Ahli tafsir sangat sedikit mengetengahkan soal-soal seperti ini, bukan
hanya karena rumit semata, melainkan juga karena persoalannya dipandang
oleh sebagian orang sangat tidak dibutuhkan, disamping banyak menguras
tenaga dan pikiran.
Orang pertama yang membahas munasabah dalam menafsirkan Al-Quran adalah
Abu Bakar An Naisaburi (wafat 324 H). As Suyuthi berkata : Setiap kali
ia (An-Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al-Quran
kepadanya, beliau berkata : Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat
ini dan apa rahasia diletakkan surat ini disamping surat ini ?. Beliau
mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah barudalam dunia
tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap-
persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surah, terlepas dari segi
tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan
beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak ilmu
munasabah.
Perkembangan selanjutnya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang
dari ilmu-ilmu Al-Quran. Penulis yang membahas dengan baik masalah
munasabah adalah Burhanuddin Al-Biqai dalam kitabnya Nazhmud Durar fi
Tanasubil Ayati was Suwar.
Manfaat munasabah dalam memahami ayat Al-Quran ada dua yaitu :
1. Memahami keutuhan, keindahan dan kehalusan bahasa.
2. Membantu dalam memahami kutuhan makna Al-Quran.
Untuk menemukan korelasi antar ayat,sangat diperlukan kejernihan rohani
dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
VI. Fawatihus Suwar(Pembukaan Surat)
Fawatisus suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali
perjalanan teks-teks p-ada suatu surat. Apabila dimulai dengan
huruf-huruf hijaiyah dinamakan dengan ahruf muqattaah (huruf-huruf
terpisah), karena posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak bergabung
membentuk suatu kalimat secara kebahasaan.
Ibnu Abi Al Asba menulis kitab yang secara mendalam membahas tentang bab
ini yaitu kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, beliau
membagi bentuk pembukaan surat dalam Al-Quran dalam lima bentuk :
1. Pujian kepada Allah.
2. Huruf muqattaah, terdapat dalam 29 surat.
3. Kata seru (ahruhun nida), terdapat dalam 10 surat.
4. Kalimat berita, terdapat dalam 23 surat.
5. Sumpah, terdapat dalam 15 surat.
Pembahasan yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa pembukaan surat
yang berbentuk huruf muqattaah sering menimbulkan kontroversi diantara
mereka. Sehingga tidak heran apabila huruf-hurf muqattaah tersebut
sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat yang tidak
seorangpun mengetahui artinya kecuali Allah. Atau bahkan disebut sebagai
salah satu rahasia tuhan yang terdapat dalam Al-Quran.
VII. Qiraat dan Pengajaran Al-Quran
Dari segi bahasa kata qiraah berarti bacaan, masdar dari qaraa. Dari
segi istilah, Az-Zaqrani memberikan pengertian qiraah adalah sebagai
suatu mazhab yang dianut oleh seorang qari dalam membaca Al-Quran yang
berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran serta
disepakati riwayat dan sanad-sanadnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf maupun dalam pencucapan lafaznya.
Mazhab qiraah yang terkenal adalah qiraah sabah (tujuh), qiraah asyarah
(sepuluh) dan qiraah arbaa asyarah (empat belas). Perbedaan ini
disebabkan oleh berbedanya kapasitas intelektual dan kapasitas
masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca Al-Quran. Hal ini
juga berkaitan dengan tulisan Al-Quran dalam mushaf Usmani yang belum
diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al-Quran dapat
berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam
semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan Al-Quran menyebar ke
berbagai daerah.
Qiraah sabah (tujuh) adalah qiraah yang merujuk kepada tujuh imam yang masyhur, yaitu :
1. Ibnu Katsir dari Mekkah, yang nama lengkapnya adalah Abu Mabad
Muhammad Abdullah Bin Katsir Bin umar bin Zadin Ad-Dari Al Makki (45-120
H). Belajar qiraah kepada sahabat Nabi Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib
Al Makhzumi.
2. Imam Nafi dari Isfahan (Madinah), yang nama lengkapnya adalah Abu
Nuaim Nafi bin Abdurrahman bin Abu Nuaim Al Laitsi Al Isfahani Al
Madani(70-169 H). Belajar qiraah kepada Zaid bin Qaqa Al Qurri Abu Jafar
dan Abu Maimunah.
3. Imam Ashim bin Abi nujub bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi (wafat 127 H).
Belajar qiraah kepada Saad bin Iyasy Asy Syaibani, Abu Abdurrahman
Abdullah bin habib As Salami dan Zir bin Hubaisy.
4. Imam Hamzah dari Kufah, nama lengkapnya adalahAbu Imarah Hamzah bin
Habib Az Zayyat Al Fardhi Attaimi (156-216 H). Belajar qiraah kepada
Imam Ashim Imam As SabiI Abu Muhammad Sulaiman bin Mahram Al Amari.
5. Imam Kuzai dari Kufah, nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin
Hamzah bin Abdullah bin Fairuz Al Farizi Al Kuzai An Nahwi (119-189 H).
Belajar qiraah pada imam Hamzah dan Imam Syubah bin Iyasy.
6. Imam Abu Amr dari Basrah, nama lengkapnya adalah Abu Amr Zabban bin
Al Ala bin Ammar Al Basri(70-154 H). Belajar qiraah kepada Al Baghdadi
dan Hasan Al Basri.
7. Imam Abu Amir dari Damaskus, nama lengkapnya adalah Abu nuaim Abu
Imran Abdullah bin Amir Asy SyafiI Alyas Hubi (21-118 H). Belajar qiraah
kepada Abu Darda dan Mughirah bin Syubah.
Qiraah Asyarah (sepuluh) adalah qiraah tujuh diatas ditambah dengan tiga imam lagi, yaitu :
8. Imam Yaqub dari Basrah, nama lengkapnya Abu Muhammad Yaqub bin Ishaq Al Basri Al Madhrami (wafat 205 H).
9. Imam Khalaf dari Kufah, nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalib Al Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).
10. Imam Jafar dari Madinah, nama lengkapnya Abu Jafar Yasid bin Al Qaqa Al Makhzumi Al Madani (wafat 230 H).
Qiraah Arbaa Asyarah (empat belas) adalah qiraah sepuluh diatas ditambah empat imam lagi, yaitu :
11. Imam Hasan Al Basri
12. Imam Ibnu Mahisy
13. Imam Yahya Al Yazidi
14. Imam Asy Syambudzi.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan
ilmu qiraah adalah Imam Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (wafat 224 H).
Beliau menulis sebuah kitab dengan nama Al-Qiraat yang menghimpun 25
orang perawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar