Tafsir berasal dari kata al fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa
al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini sesuai dengan
surat Al Furqan ayat 33, “wa laa ya’ tuunuka bimatsalin illa ji’ naaka
bil haqqi wa ahsana tafsiirin.”
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah subhaanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Pengertian tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”,artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. DalamLisanul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil.
Secara istilah, tafsir menurut pendapat Abu Hayyan adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna- maknanya yang berkaitan dengan kondisi sturktur lafazh.
Menurut Az-Zarkasyi “ Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menerangkan makna- maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah- hikmahnya."
B. Kedudukan Al Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Maka, untuk memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang menjadi alat untuk memahaminya,ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas, tekstual atau kontekstual serta pemahaman ayat lainnya.
Secara sederhana tafsir adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
Pada masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung oleh beliau, sehingga setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat maka langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an,sebagaimana kalamNya yang mulia:
keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apayang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. QS An-Nahl : 44.
Ayat ini menjadi dalil bagi tugas Rasulullah yaitu menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Hadits-hadits yang menyebutkan beliau memberikan penafsiran berbagai ayat Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat banyak jumlahnya
Demikian juga hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsaradalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Selanjutnya setelah Rasulullah wafat maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat Al-Qur’an segera ditanyakan kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat lainnya. Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an, karena ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya. Bahkan beberapa ayat merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi,
Sesungguhnya,Al Quran merupakan tali Allah yang sangat kuat dan jalan-Nya yang lurus, Allah telah menyebutkandengan sifat yang sangat agung.
Allah berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang ( Al-Quran ).”( QS. An Nisa’: 174 )
Urgensi Tafsir Al Qur’an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.
Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak[8]. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.
Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamulla.
D. Metode penafsiran Al Qur’an
Setelah mengetahui betapa urgennya tafsir, maka sudah seharusnya kita juga mengetahui metode penafsiran Al-Quran yang benar, agar dalam menafsirkan Al-Quran tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Secara ringkas, dalam menafsirkan Al-Quran ada empat metode, yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Muqadimah tafsir beliau, “Metode paling tepat dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, karena ayat yang masih global akan dijelaskan di ayat lain, apabila kamu tidak mendapatkan penjelasannya dalam Al-Quran, maka carilah penjelasan dari As- Sunnah, karena As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran, kemudian jika kita tidak mendapatkan penjelasan di Al-Quran dan As Sunnah, maka kita meruju’ ke perkataan para sahabat, karena mereka lebih mengetahui dan melihat langsung indikasi-indikasi yang menjelaskan Al-Quran, dan juga mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar serta amal solih, terlebih khusus para ulama dan pembesar mereka, seperti empat khalifah dan para imam yang diikuti seperti Abdullah bin Mas’ud.Dan apabila aku tidak mendapatkan penjelasan dalam Al-Quran, As Sunnah, dan dari perkataan para sahabat, maka mayoritas para ulama meruju ke perkataan para tabi’in”
Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih hidup. Seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci diayat lain.
Disaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al-Hamdani.
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metode tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka tetap berpegang pada tafsir bi Al-Matsur, dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan tafsir bi Al-Ra’yi dimana ruang lingkup ijtihad lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat. Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti “wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khathil aswadi minal fajri..” (QS. Al-Baqarah: 187).
Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al khaitil abyadhi”.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan sunnah seperti “Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum bizhulmin.” (QS. Al An’am: 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, “innasy syirka lazhul mun ‘azhiim.” (QS. Luqman: 13).
Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan tafsir Baqy bin Makhlad.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah.
Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain: tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Metodologi tafsir Al Qur’an
Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.
Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
Metode Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah subhaanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Pengertian tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”,artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. DalamLisanul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil.
Secara istilah, tafsir menurut pendapat Abu Hayyan adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna- maknanya yang berkaitan dengan kondisi sturktur lafazh.
Menurut Az-Zarkasyi “ Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menerangkan makna- maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah- hikmahnya."
B. Kedudukan Al Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Maka, untuk memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang menjadi alat untuk memahaminya,ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas, tekstual atau kontekstual serta pemahaman ayat lainnya.
Secara sederhana tafsir adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
Pada masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung oleh beliau, sehingga setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat maka langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an,sebagaimana kalamNya yang mulia:
بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apayang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. QS An-Nahl : 44.
Ayat ini menjadi dalil bagi tugas Rasulullah yaitu menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Hadits-hadits yang menyebutkan beliau memberikan penafsiran berbagai ayat Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat banyak jumlahnya
Demikian juga hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsaradalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Selanjutnya setelah Rasulullah wafat maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat Al-Qur’an segera ditanyakan kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat lainnya. Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an, karena ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya. Bahkan beberapa ayat merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi,
Sesungguhnya,Al Quran merupakan tali Allah yang sangat kuat dan jalan-Nya yang lurus, Allah telah menyebutkandengan sifat yang sangat agung.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya :“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang ( Al-Quran ).”( QS. An Nisa’: 174 )
Urgensi Tafsir Al Qur’an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.
Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak[8]. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.
Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamulla.
D. Metode penafsiran Al Qur’an
Setelah mengetahui betapa urgennya tafsir, maka sudah seharusnya kita juga mengetahui metode penafsiran Al-Quran yang benar, agar dalam menafsirkan Al-Quran tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Secara ringkas, dalam menafsirkan Al-Quran ada empat metode, yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Muqadimah tafsir beliau, “Metode paling tepat dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, karena ayat yang masih global akan dijelaskan di ayat lain, apabila kamu tidak mendapatkan penjelasannya dalam Al-Quran, maka carilah penjelasan dari As- Sunnah, karena As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran, kemudian jika kita tidak mendapatkan penjelasan di Al-Quran dan As Sunnah, maka kita meruju’ ke perkataan para sahabat, karena mereka lebih mengetahui dan melihat langsung indikasi-indikasi yang menjelaskan Al-Quran, dan juga mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar serta amal solih, terlebih khusus para ulama dan pembesar mereka, seperti empat khalifah dan para imam yang diikuti seperti Abdullah bin Mas’ud.Dan apabila aku tidak mendapatkan penjelasan dalam Al-Quran, As Sunnah, dan dari perkataan para sahabat, maka mayoritas para ulama meruju ke perkataan para tabi’in”
Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih hidup. Seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci diayat lain.
Disaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al-Hamdani.
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metode tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka tetap berpegang pada tafsir bi Al-Matsur, dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan tafsir bi Al-Ra’yi dimana ruang lingkup ijtihad lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat. Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti “wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khathil aswadi minal fajri..” (QS. Al-Baqarah: 187).
Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al khaitil abyadhi”.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan sunnah seperti “Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum bizhulmin.” (QS. Al An’am: 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, “innasy syirka lazhul mun ‘azhiim.” (QS. Luqman: 13).
Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan tafsir Baqy bin Makhlad.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah.
Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain: tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Metodologi tafsir Al Qur’an
Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.
Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
Metode Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar