“Berserah
Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir
Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur’an Dan A-Sunnah Yang Shahih,
(Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau
Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun
Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”
Imam
Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:
“Allah
yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah
menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [1]
Kewajiban
seorang muslim, untuk tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada
perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau ‘Alaihi sholatu wa sallam
dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan
bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga
dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.
Penyerahan
diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah ‘Alaihi
sholatu wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya
: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa’: 80]
Seorang
hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ia mentauhidkan
Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallm sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum
selain hukum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat
seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya
seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri
kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallm, dan menyerahkan ilmu
yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya,
berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya
dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.
Ada
sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm,
tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an,
lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya,
sambil melemparkan debu seraya bersabda:
“Artinya
: Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah
membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi
mereka serta mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan
sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Qur-an tidak turun untuk
mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Qur-an
sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian
ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada
yang paling alim.” [2].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Artinya
: Bertengkar dalam masalah al-Qur-an adalah kufur.” [3]
Imam
Ath-Thahawi Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu
yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada al-Qur-an dan
as-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari
kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan keimanan yang benar.” [4]
Penjelasan
ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.
Orang
yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
“Artinya
: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggunganjawabnya.” [Al-Israa’: 36]
“Artinya
: …Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak
memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim” [Al-Qashash: 50].
“Artinya
: Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan
mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan
itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya,
dan memba-wanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Haaj: 3-4]
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya
: Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurun-kan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.’” [Al-A’raaf: 33]
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallmj ditanya tentang anak-anak kaum
Musyrikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Allah-lah
Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [5]
Dari
Abu Umamah al-Baahili Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallm bersabda: “Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat
hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.” Lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah
“Artinya
: …Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melain-kan dengan maksud
membantah saja…” [Az-Zukhruf: 58] [6]
Dari
Aisyah [7] Radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallm bersabda:
“Artinya
: Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras hati lagi suka
membantah.” [8]
Tidak
diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Dan orang yang berkata
dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang
mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka
berkuranglah tauhidnya menurut kadar keluarnya dia dari ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Sesungguhnya dia
telah menjadikan sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Artinya
: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berda-sarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiar-kannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
[Al-Jaatsiyah: 23] [9]
[Disalin
dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama
Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1].Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/503).
_________
Foote Note
[1].Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/503).
[2]. HR. Ahmad (II/195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), Bukhari fii Af’alil ‘Ibad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan. Dari Shahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 6702).
[3]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud no. 4603, dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[4]. Lihat Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 233).
[5]. HR. Al-Bukhari no. 1384 dan Muslim no. 2659, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Hakim (II/447, 448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani hadits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 141.
[7]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah j yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi j hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamj dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal saat ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anha meninggal pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyah. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah karya Ibnu Hajar al-Asqalani (IV/359 no. 704, cet. Daarul Fikr).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2457), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[9]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 228-235)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar