Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang
tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke
rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Dia mewarisi
tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik
maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan
potongan dari hatinya. Anak juga merupakan anugerah dari Allah yang
diberikan kepada para orang tua. Ada orang tua yang beruntung
mendapatkannya dan ada orang tua yang tidak beruntung mendapatkannya
alias mandul.
Para orang tua yang mandul mereka mengisi kekosongan itu dengan
mengangkat anak. Problematikanya, para orang tua mengganti nasab orang
tua kandungnya dengan nasab mereka. Yang lebih parah lagi, mereka
memasukan nama anak angkat dalam nama orang-orang yang berhak menerima
warisan.
Adapun ayat yang menjelaskan masalah anak angkat yaitu surat al-Ahzab ayat 4-5 yang insyaAllah akan saya jelaskan.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
{مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ
أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ
لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab: 4-5)
Dalam pendahuluan ini sebelum mengemukakan maksud yang dikehendaki,
Allah Swt. mengemukakan suatu perkara yang telah dimaklumi oleh
pancaindra. Yaitu bahwa sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang
memiliki dua buah hati dalam rongganya, maka tidak mungkin pula istri
yang di-zihar oleh seseorang melalui ucapannya, "Engkau bagiku seperti
punggung ibuku," sebagai ibunya. Tidak mungkin pula terjadi seorang anak
angkat menjadi anak kandung seseorang yang mengambilnya sebagai anak
angkat. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ
أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ}
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu
sebagai ibumu. (Al-Ahzab: 4)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:
{مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ}
padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (Al-Mujadilah: 2), hingga akhir
ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ}
dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (Al-Ahzab: 4)
Inilah yang dimaksud dengan penafian. Sesungguhnya ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Zaid ibnu Haris'ah r.a. maula Nabi Saw. Dahulu Nabi
mengangkatnya sebagai anak sebelum beliau menjadi nabi, dan dahulu ia
dikenal dengan sebutan 'Zaid anak Muhammad'. Maka Allah berkehendak akan
menghapuskan penisbatan ini melalui firman-Nya: dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (Al-Ahzab: 4)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam pertengahan surat ini melalui firman-Nya:
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ
اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki di antara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab: 40)
Dan dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ}
Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. (Al-Ahzab: 4)
Yakni pengangkatan anak oleh kalian hanyalah dalam sebutan belaka, tidak
menjadikan anak yang bersangkutan sebagai anak kandung orang yang
bersangkutan, karena dia diciptakan dari sulbi orang lain. Dan tidaklah
mungkin bagi anak yang bersangkutan mempunyai dua orang ayah,
sebagaimana tidak mungkin bagi seorang manusia mempunyai dua hati.
{وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab: 4)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa firman Allah Swt.: Dia mengatakan yang sebenarnya. (Al-Ahzab: 4) Yaitu keadilan belaka.
Sedangkan menurut Qatadah, makna firman-Nya:dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab: '4) Yakni jalan yang lurus.
Tidak hanya seorang ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Quraisy. Dia disebut
sebagai seseorang yang berhati dua, dan dia sendiri menduga bahwa
dirinya mempunyai dua buah hati; masing-masing dari hatinya bekerja
sendiri-sendiri, maka Allah menurunkan ayat ini sebagai sanggahan
terhadapnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi dari Ibnu Abbas,
Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan hal yang sama, lalu
dipilih oleh Ibnu Jarir.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ
قَابُوسَ -يَعْنِي ابْنَ أَبِي ظِبْيَان -أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ قَالَ:
قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى: {مَا جَعَلَ
اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ} ، مَا عَنَى بِذَلِكَ؟
قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
يُصَلِّي، فخَطَر خَطْرَة، فَقَالَ الْمُنَافِقُونَ الَّذِينَ يُصَلُّونَ
مَعَهُ: أَلَا تَرَوْنَ لَهُ قَلْبَيْنِ، قَلْبًا مَعَكُمْ وَقَلْبًا
مَعَهُمْ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: {مَا جَعَلَ اللَّهُ
لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah
menceritakan kepada kami Zuhair, dari Qabus ibnu Abu Zabyan yang
mengatakan bahwa sesungguhnya ayahnya pernah menceritakan kepadanya
hadis berikut, ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman
Allah Swt.: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4) Ibnu Abbas menjawab, pada suatu hari
Rasulullah Saw. berdiri mengerjakan salat, lalu kelihatan beliau
memikirkan sesuatu, maka orang-orang munafik yang tadinya salat
bersamanya mengatakan, "Tidakkah kalian lihat, dia mempunyai dua hati;
satu hati bersama kalian dan hati yang lainnya bersama mereka." Maka
Allah menurunkan firman-Nya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur
Rahman Ad-Darimi, dari Sa'id Al-Harrani, dari Abdu ibnu Humaid dan dari
Ahmad ibnu Yunus, keduanya dari Zuhair ibnu Mu'awiyah dengan sanad yang
sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat
hasan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Zuhair dengan sanad yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4)
Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah. Dibuatkan baginya suatu perumpamaan,
bahwa bukanlah anak orang lain itu adalah anakmu.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid, bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Pendapat ini
sesuai dengan apa yang telah kami kemukakan di atas.
Firman Allah Swt.:
{ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan(memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al-Ahzab:
5)
Ini adalah perintah yang me-mansukh apa yang biasa berlaku di masa
permulaan Islam yang membolehkan memanggil anak angkat sebagai anak
sendiri. Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada mereka agar
mengembalikan nisbat anak-anak angkat kepada bapaknya masing-masing yang
sesungguhnya. Ketentuan ini merupakan suatu keadilan dan tindakan yang
bajik.
قَالَ الْبُخَارِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا مُعَلى بْنُ أَسَدٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
عُقْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنِي سَالِمٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ؛
أَنَّ زيدًا بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ،
حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ: {ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ}
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ma'la ibnu Asad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul
Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah yang mengatakan bahwa telah menceritakan
kepadaku Salim, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa
sesungguhnya kami terbiasa memanggil Zaid ibnu Harisah maula Rasulullah
Saw. dengan sebutan Zaid anak Muhammad, sehingga turunlah firman Allah
Swt. yang mengatakan: Panggillah mereka(anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah. (Al-Ahzab: 5)
Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Uqbah dengan sanad yang sama.
Dahulu mereka memperlakukan anak-anak angkat sebagaimana mereka
memperlakukan anak-anak kandung sendiri dalam semua keadaan, misalnya
dalam keadaan menyendiri disamakan dengan mahram dan lain sebagainya.
Karena itulah Sahlah binti Suhail (istri Abu Huzaifah r.a.) bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami terbiasa memanggil Salim sebagai anak sendiri,
sedangkan Allah telah menurunkan wahyu yang menjelaskan hukumnya,
sesungguhnya dia terbiasa masuk menemuiku, dan sesungguhnya saya
mempunyai perasaan bahwa Abu Huzaifah merasa tidak enak dengan
kebebasannya menemuiku itu." Maka Nabi Saw. bersabda menjawabnya:
"أَرَضِعَيْهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ"
Susuilah dia, maka engkau menjadi mahramnya!
Setelah adanya pe-nasikh-an hukum ini, maka Allah membolehkan seseorang
mengawini bekas istri anak angkatnya; Rasulullah Saw. mengawini Zainab
binti Jahsy yang telah diceraikan oleh Zaid ibnu Harisah r.a.
Allah Swt. berfirman:
{لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا}
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya dari istrinya. (Al-Ahzab: 37)
Allah Swt. telah berfirman di dalam surat An-Nisa tentang mahram:
{وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ}
(dan diharamkan bagimu) mengawini istri-istri anak kandungmu. (An-Nisa: 23)
Sebagai pengecualian dari istri anak angkat, karena anak angkat bukan
berasal dari sulbi orang yang bersangkutan. Adapun mengenai anak
persusuan (rada'), ia didudukkan sebagaimana anak sulbi menurut hukum
syara' melalui hadis Rasulullah Saw. yang termaktub di dalam
kitabSahihain yang mengatakan:
"حَرِّمُوا مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ"
Jadikanlah mahram karena persusuan sebagaimana kemahraman yang terjadi karena nasab (keturunan).
Pengakuan terhadap anak orang lain yang diakui sebagai anak karena
memuliakannya atau karena sayang, hal ini bukan termasuk hal yang
dilarang oleh ayat ini karena berdasarkan apa yang disebutkan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali
Imam Turmuzi melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Salamah ibnu Kahil,
dari Al-Hasan Al Urani, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa
kami persilakan anak-anak kecil dari kalangan Bani Abdul Muttalib
menemui Rasulullah Saw. dengan membawa dupa-dupa kami dari Jama'
(Arafah). Dupa-dupa tersebut mengotori paha-paha kami, maka Rasulullah
Saw. bersabda,
"أُبَيْنيّ لَا تَرْمُوا الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ "
"Hai Anakku, janganlah kamu buang-buang dupa itu sebelum mentari terbit."
Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan bahwa bunayya merupakan bentuk
tasgir dari Ibnun. Hal ini jelas penunjukkan dalilnya, dan peristiwa ini
terjadi pada haji wada' tahun sepuluh hijriah.
Firman Allah Swt.:
{ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ}
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan(memakai) nama bapak-bapak mereka. (Al-Ahzab: 5)
Berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Dia telah gugur dalam Perang Mu'tah pada tahun delapan Hijriah.
Juga di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Abu Uwwanah
Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri, dari Al-Ja'd Abu Usman Al-Basri,
dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
memanggilnya dengan sebutan, "Hai Anakku."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab:
5)
Allah Swt. memerintahkan agar mengembalikan nisbat anak-anak angkat
kepada bapaknya masing-masing yang sesungguhnya, jika bapak-bapak mereka
diketahui. Jika ternyata bapak-bapak mereka (anak-anak angkat itu)
tidak diketahui, maka mereka adalah saudara-saudara seagama dan
maula-maula kalian, yakni sebagai pengganti dari nisbat nasab mereka
yang tidak diketahui.
Ada suatu kasus yang terjadi sehubungan dengan masalah ini, yaitu
berkenaan dengan kembalinya Nabi Saw. dari Mekah seusai menunaikan umrah
qada, lalu mereka diikuti oleh anak perempuan Hamzah r.a. yang menyeru,
"Hai Paman, hai Paman, aku ikut!" Maka Ali r.a. menggendongnya dan
berkata kepada Fatimah r.a., "Peliharalah anak pamanmu ini," lalu
Fatimah menggendongnya.
Maka bertengkarlah memperebutkannya Zaid dan Ja'far r.a.
mempermasalahkan siapa yang berhak memeliharanya di antara mereka.
Masing-masing pihak mengemukakan alasannya.
Ali r.a. berkata, "Aku lebih berhak karena dia adalah anak pamanku."
Zaid mengatakan, "Dia adalah anak saudaraku." Ja'far mengatakan, "Dia
anak perempuan pamanku dan bibinya menjadi istriku," yakni Asma binti
Umais. Maka Nabi Saw. memutuskan bahwa anak perempuan Hamzah r.a. harus
berada di bawah asuhan bibinya, dan Nabi Saw. bersabda:
"الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ". وقال لعلي: "أنت مني، وأنا منك". وقال
لجعفر: "أشبهت خَلْقي وخُلُقي". وقال لزيد: "أنت أَخُونَا وَمَوْلَانَا"
Bibi sama kedudukannya dengan ibu. Kemudian Nabi Saw. bersabda kepada
Ali: Engkau termasuk keluargaku, dan aku termasuk keluargamu.Kepada
Ja'far r.a. Nabi Saw. bersabda: Rupa dan akhlakmu menyerupaiku. Dan
kepada Zaid ibnu Harisah, Nabi Saw. bersabda: Engkau adalah saudara kami
dan maula kami.
Di dalam hadis ini tersimpulkan banyak hukum yang terbaik ialah bahwa
Nabi Saw. memutuskan perkara yang hak dan membuat masing-masing dari
pihak yang bersengketa merasa puas.
Beliau Saw. bersabda kepada Zaid ibnu Harisah r.a.: Engkau adalah
saudara kami dan maula kami.Semakna dengan apa yang disebutkan oleh
firman-Nya: maka (panggillah mereka sebagai)saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Uyaynah ibnu
Abdur Rahman, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Abu Bakar r.a. pernah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah; dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5) "Aku termasuk orang yang tidak
diketahui bapaknya, maka aku termasuk saudara-saudara seagama kalian."
Ayahku (si perawi yakni Abdur Rahman) mengatakan, "Demi Allah,
sesungguhnya aku merasa yakin seandainya Abu Bakar mengetahui bahwa
ayahnya adalah keledai, niscaya dia menisbatkan dirinya kepada keledai
itu."
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
مَنِ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُهُ، كَفَرَ
Tiada seorang lelaki pun yang menisbatkan dirinya kepada bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia kafir.
Ini merupakan kecaman dan peringatan yang keras ditujukan terhadap orang
yang melepaskan dirinya dari nasabnya yang telah dimaklumi. Karena itu
Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu)dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih
adil pada sisi Allah; dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ}
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya. (Al-Ahzab: 5)
Apabila kalian menisbatkan sebagian dari mereka bukan kepada ayah yang
sebenarnya karena keliru sesudah berijtihad dan berusaha sebisamu, maka
sesungguhnya Allah Swt. menghapuskan dosa kekeliruan itu, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh-Nya melalui firman-Nya yang memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya agar dalam doanya mereka mengucapkan:
{رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (Al-Baqarah: 286)
Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"قَالَ اللَّهُ: قَدْ فَعَلْتُ"
Allah Swt. berfirman (menjawab doa tersebut),"Kami luluskan.”
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِنِ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ"
Apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar, maka dia memperoleh
dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan ternyata keliru, maka baginya
satu pahala.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"إِنَّ اللَّهَ رَفَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا يُكرَهُون عَلَيْهِ"
Sesungguhnya Allah Swt. telah memaafkan dari umatku perbuatan keliru,
lupa, dan melakukan perbuatan yang dipaksakan kepada mereka.
Dan firman Allah Swt. dalam surat ini:
{وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya)apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab: 5)
Yakni sesungguhnya yang dinilai dosa itu ialah melakukan perbuatan yang
batil dengan sengaja, sebagaimana yang disebutkan pula oleh firman-Nya
dalam ayat yang lain, yaitu:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis terdahulu telah disebutkan:
"مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُهُ، إِلَّا كَفَرَ"
Tiada seorang pun yang menisbatkan dirinya bukan kepada bapaknya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia telah kafir.
Di dalam suatu ayat Al-Qur'an yang telah di-mansukh pernah disebutkan:
"فَإِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ"
bahwa sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian jika kalian membenci bapak-bapak kalian.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا
مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ
قَالَ: بَعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ مَعَهُ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ. ثُمَّ قَالَ: قَدْ كُنَّا
نَقْرَأُ: "وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ [فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ
-أَوْ: إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ -أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ] ، وَإِنَّ
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لَا تُطْرُونِي [كَمَا أُطْرِيَ]
عِيسَى بْنُ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ".
وَرُبَّمَا قَالَ مَعْمَر: "كَمَا أَطَرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq,
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah
ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar r.a.
yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah Swt. mengutus Muhammad dengan
sebenarnya dan menurunkan kepadanya Al-Qur'an, dan termasuk di antara
ayat Al-Qur'an ialah ayat yang mengenai hukum rajam. Rasulullah Saw.
memberlakukan hukum rajam, dan kami pun melakukannya pula sesudahnya."
Kemudian Umar r.a. mengatakan, "Dahulu kami sering membaca ayat ini
(yang telah di-mansukh)," yaitu: Janganlah kalian membenci bapak-bapak
kalian, karena sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian bila
kalian membenci bapak-bapak kalian sendiri. Dan Rasulullah Saw. pernah
bersabda:Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana Isa
putra Maryam disanjung-sanjung(oleh kaum Nasrani), karena sesungguhnya
aku ini hanyalah hamba Allah, maka sebutlah oleh kalian, "Hamba Allah
dan rasul-Nya.”
Adakalanya Ma'mar (si perawi) mengatakan,"Sebagaimana kaum Nasrani menyanjung-nyanjung Isa Putra Maryam."
Dalam hadis lain disebutkan:
"ثَلَاثٌ فِي النَّاسِ كُفْرٌ: الطَّعْن فِي النَّسبَ، والنيِّاحة عَلَى الْمَيِّتِ، والاستسقاء بالنجوم"
Ada tiga perkara bagi manusia merupakan kekufuran, yaitu mencela nasab
(keturunan), melakukan niyahah (tangisan ala Jahiliah) karena ditinggal
mati, dan meminta hujan kepada ahli nujum/perbintangan.
Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain
anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan
sebutkan berikut ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan
panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk
memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah
termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُغَيْلِمَةَ
بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ
يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُوْلُ: أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي– لاَ
تَرْمُوا الْجُمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih
awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas
keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha
kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar
jumrah sampai matahari terbit.”
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung
penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr
radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di
mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada
Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai
anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah
kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya
dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai
penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa
sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang
disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah
didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan
baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar