Bagi umat islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan keyakinan
terhadap al-Quran yang diwahyukan serta pemahaman mengenai kehidupan dan
alam semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terdapat
ketentuan-ketentuan Allah yang bersifat absolut, dimana yang satu
dinamakan kebenaran Qur’ani (ayat Qur’aniyah). Dan ysng lsinya disebut
kebenaran kauni (ayat Kauniyyah). Kebenaran tersebut hanya dapat
didekati oleh manusia melalui proses pendidikan dengan berbagai
pendekatan dan dilakukan secara continue.
Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, paling tidak
mengemban fungsi utama, yaitu sebagai hudan, (petunjuk), bayyinah
(penjelas) dan furqan (pembeda). Ketiga fungsi ini sangat relevan dan
mampu menjawab berbagai macam permasalahan sejak al-Quran diturunkan
sampai masa kini, bahkan mampu memberikan keyakinan bagi setiap orang
yang bertanya kepadanya, hal ini tergambar dengan ayat pertama dengan
perintah “iqra”(bacalah). Kata “iqra” ini mengandung berbagai ragam
arti, antara lain, menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti
mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang kesemuanya dapat
dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.
Di samping itu Al-Quran juga membawa setidak-tidaknya tiga wawasan yang
perlu dikaji dan di alami. Ketiga wawasan tersebut adalah wawasan
kesejahteraan (al-wa’y al-qashqash), wawasan keilmuan (al-awa’y al-ilmi)
dan wawasan kesejahteraan (al-wa’y al falah).
Mebahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan melihat,
adakah teori relavitas atau bahasan tentang luar angkasa, misalnya; atau
ilmu komputer tercantum dalam al-Quran akan tetapi yang lebih penting
adakah satu ayat al-Quran yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan
dengan hasil kemajuan ilmiah yang telah teruji kebenarannya? Dengan kata
lain, meletakkannya pada sisi “social pdychoogy” (psikologi soial)
bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan).
Pandangan AL-Quran tentang ilmu teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad
SAW.wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang dibaca, karena al-Quran
menghendaki apa saja yang dibaca umatnya untuk membaca apa saja selama
bacaan itu didasarkan pada bismi Rabbik, yakni bermanfaat bagi
kesejahteraan dan kehidupan manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa
objek perintah iqra mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh
akal pikiran manusia.
Dari wahyu pertama tersebut diperoleh isyarat bahwa ada dua cara
perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yag
telah diketahui oleh manusia sebelumnya., dan mengajar tanpa pena yang
belum diketahui caranya. Artinya bahwa cara pertama, adalah belajar
menggunakan media atau alat bantu atas dasar usaha manusia. Cara kedua,
mengandung arti bahwa mengajar tanpa menggunakan media alat bantu atas
dasar usaha manusia. Cara kedua, mengandung arti bahwa mengajar tanpa
menggunakan alat dan usaha manusia. Walaupun demikian, keduanya berasal
dari sumber utama, yaitu Allah SWT.
Eksistensi manusia baik posisinya sebagai makhluk sosial maupun
individual tidak akan terlepas dari kebutuhannya akan ilmu pengetahuan.
Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah
satunya ditentukan oleh ilmu Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia
di muka bumi ini, salah satunya ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya,
disamping faktor lainya seperti nilai ketakwaan. Disamping itu juga,
ilmu pengetahuan dapat menentukan kualitas keimanan seseorang, sekalipun
manusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa (la ta’lamuna syaia). Namun
demikian, dalam perkembangan berikutnya, manusia sebagai anak cucu
Adam, mengetahui pengetahuan dengan berbagai cara dan pendekatan dengan
mendayagunakan berbagai potensi yang dimilikinya baik fisik maupun
fsikis.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
"Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah
kamu, " maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS
Al-Mujadilah: 11)
Allah Swt. berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman seraya
memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka bersikap baik
kepada sebagian yang lain dalam majelis-majelis pertemuan. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, "(Al-Mujadilah: 11)
Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk tunggal, bukan jamak.
{فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ}
maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11)
Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih:
"مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ"
Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.
Dan di dalam hadis yang lain disebutkan:
"وَمَنْ يَسَّر عَلَى مُعْسِر يَسَّر اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ، [وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ] وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي
عَوْنِ أَخِيهِ"
Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang
kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan
akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba
menolong saudaranya.
Masih banyak hadis lainnya yang serupa. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
{فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ}
maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11)
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan majelis
zikir. Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang dari
mereka yang baru datang, mereka tidak memberikan kelapangan untuk tempat
duduknya di hadapan Rasulullah Saw. Maka Allah memerintahkan kepada
mereka agar sebagian dari mereka memberikan kelapangan tempat duduk
untuk sebagian yang lainnya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada hari
Jumat, sedangkan Rasulullah Saw. pada hari itu berada di suffah (serambi
masjid); dan di tempat itu penuh sesak dengan manusia.
Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah Saw. ialah memuliakan
orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin
maupun dari kalangan Ansar. Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang
dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan orang-orang selain mereka
telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah Saw. Maka mereka
yang baru datang berdiri menghadap kepada Rasulullah dan berkata,
"Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau, hai Nabi Allah, dan
juga keberkahan-Nya." Lalu Nabi Saw. menjawab salam mereka. Setelah itu
mereka mengucapkan salam pula kepada kaum yang telah hadir, dan kaum
yang hadir pun menjawab salam mereka. Maka mereka hanya dapat berdiri
saja menunggu diberikan keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu.
Nabi Saw. mengetahui penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena
tidak diberikan keluasan bagi mereka di majelis itu. Melihat hal itu
Nabi Saw. merasa tidak enak, maka beliau bersabda kepada orang-orang
yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang bukan
dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu. Juga kamu, hai
Fulan." Dan Nabi Saw. mempersilakan duduk beberapa orang yang tadinya
hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin dan Ansar Ahli
Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang yang disuruh
bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Saw. mengetahui keadaan ini dari
roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat duduknya. Maka
orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka, "Bukankah kalian
menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara sesama manusia? Demi
Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap mereka. Sesungguhnya suatu
kaum telah mengambil tempat duduk mereka di dekat nabi mereka karena
mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi nabi mereka menyuruh mereka
beranjak dari tempat duduknya, dan mempersilakan duduk di tempat mereka
orang-orang yang datang terlambat." Maka telah sampai kepada kami suatu
berita bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا فَسَح لِأَخِيهِ"
Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat duduk bagi saudaranya.
Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، وَالشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ
أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ
مَجْلِسِهِ فَيَجْلِسَ فِيهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وتَوسَّعوا".
Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang lain dari
majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan
luaskanlah tempat duduk kalian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Nafi' dengan sanad yang sama.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ
قَالَ: قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا
يُقِيمَنَّ أحدُكم أَخَاهُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ:
افْسَحُوا"
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Majid, dari
Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Sulaiman ibnu Musa telah meriwayatkan
dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jangan
sekali-kali seseorang di antara-kamu mengusir saudaranya (dari tempat
duduknya) di hari Jumat, tetapi hendaklah ia mengatakan, "Lapangkanlah
tempat duduk kalian!"
Hadis ini dengan syarat kitab sunan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو،
حَدَّثَنَا فُلَيْح، عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ [أَبِي]
صَعْصَعة، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ أَبِي يَعْقُوبَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُقِمِ
الرجلُ الرجلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسْ فِيهِ، وَلَكِنِ افْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu
Umar dan telah menceritakan kepada kami Falih, dari Ayyub, dari Abdur
Rahman ibnu Sa'sa'ah, dari Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Janganlah seseorang mengusir
saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempatnya,
tetapi(katakanlah), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan
kelapangan bagi kalian.”
وَرَوَاهُ أَيْضًا عَنْ سُرَيج بْنِ يُونُسَ، وَيُونُسَ بْنِ مُحَمَّدٍ
الْمُؤَدِّبِ، عَنْ فُلَيْح، بِهِ. وَلَفْظُهُ: "لَا يَقُومُ الرجلُ
لِلرَّجُلِ مِنْ مَجْلِسِهِ، وَلَكِنِ افْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ"
Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Syuraih ibnu Yunus dan Yunus
ibnu Muhammad Al-Mu'addib, dari Falih dengan sanad yang sama, sedangkan
teksnya berbunyi seperti berikut:Janganlah seseorang mengusir orang lain
dari tempat duduknya, tetapi (hendaklah ia mengatakan),
"Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan kelapangan bagi
kalian.” "
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid (sendirian)
Ulama ahli fiqih berbeda pendapat sehubungan dengan kebolehan berdiri
karena menghormati seseorang yang datang. Ada beberapa pendapat di
kalangan mereka; di antaranya ada yang memberikan rukhsah (kemurahan)
dalam hal tersebut karena berlandaskan kepada dalil hadis yang
mengatakan:
"قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ"
Berdirilah kamu untuk menghormat pemimpinmu!
Di antara mereka ada pula yang melarangnya karena berdalilkan hadis Nabi Saw. lainnya yang mengatakan:
"مَنْ أحَبَّ أَنْ يَتَمثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتبوَّأ مَقْعَدَه مِنَ النَّارِ"
Barang siapa yang merasa senang bila orang-orang berdiri untuk
menghormati dirinya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk mengambil
tempat duduknya di neraka.
Dan di antara mereka ada yang menanggapi masalah ini secara rinci. Untuk
itu ia mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan bila baru tiba dari
suatu perjalanan, sedangkan si hakim (penguasa) yang baru datang berada
di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadis yang
menceritakan kisah Sa'd ibnu Mu'az, karena sesungguhnya ketika Nabi Saw.
memanggilnya untuk menjadi hakim terhadap orang-orang Bani Quraizah,
dan Nabi Saw. melihatnya tiba, maka beliau Saw. bersabda kepada kaum
muslim (pasukan kaum muslim):Berdirilah kalian untuk menghormat pemimpin
kalian!
Hal ini tiada lain hanyalah agar keputusannya nanti dihormati dan ditaati; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun bila hal tersebut dijadikan sebagai tradisi, maka hal itu
merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang 'Ajam. Karena di
dalam kitab-kitab sunnah telah disebutkan bahwa tiada seorang pun yang
lebih disukai oleh mereka selain dari Rasulullah Saw. Dan Rasulullah
Saw. apabila datang kepada mereka, mereka tidak berdiri untuknya,
mengingat mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara tersebut.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. belum pernah duduk di tempat yang paling ujung
dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah majelis
itu. Sedangkan para sahabat duduk di dekatnya sesuai dengan tingkatan
mereka. Maka Abu Bakar As-Siddiq r.a. duduk di sebelah kanannya, Umar
r.a. di sebelah kirinya, sedangkan yang di depan beliau sering kalinya
adalah Usman dan Ali karena keduanya termasuk juru tulis wahyu. Dan Nabi
sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hal tersebut, sebagaimana
yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim melalui hadis Al-A'masy, dari
Imarah ibnu Umair, dari Ma'mar, dari Abu Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"لِيَليني منكم أولوا الْأَحْلَامِ والنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ"
Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk
mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian
orang-orang yang sesudah mereka.
Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami dari beliau
apa yang beliau sabdakan. Karena itulah maka beliau Saw. memerintahkan
kepada mereka yang duduk di dekatnya untuk bangkit dan agar duduk di
tempat mereka orang-orang Ahli Badar yang baru tiba. Hal ini adakalanya
karena mereka kurang menghargai kedudukan Ahli Badar, atau agar Ahli
Badar yang baru tiba itu dapat menerima bagian mereka dari ilmu
sebagaimana yang telah diterima oleh orang-orang yang sebelum mereka,
atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-orang yang
memiliki keutamaan itu (Ahli Badar) harus diprioritaskan berada di depan
(dekat dengan Nabi Saw.)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ
عُمَارة بْنِ عُمَيْرٍ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ، عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ: "اسْتَوُوا وَلَا
تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو
الْأَحْلَامِ والنُّهى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ".
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Waki',
dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu.Umair Al-Laisi, dari Ma'mar, dari Abu
Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengusap
pundak-pundak kami sebelum salat seraya bersabda: Luruskanlah saf
kalian, janganlah kalian acak-acakan karena menyebabkan hati kalian akan
bertentangan. Hendaklah yang berada di dekatku dari kalian adalah
orang-orang yang memiliki budi dan akal, kemudian orang-orang yang
sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.
Abu Mas'ud mengatakan, bahwa keadaan kalian sekarang lebih parah
pertentangannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan
para pemilik kitab Sunnah kecuali Imam Turmuzi melalui berbagai jalur
dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Apabila hal ini dianjurkan oleh Nabi Saw. kepada mereka dalam salat,
yaitu hendaknya orang-orang yang berakal dan ulamalah yang berada di
dekat Nabi Saw., maka terlebih lagi bila hal tersebut di luar salat.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ أَبِي
الزَّاهِرِيَّةِ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"أَقِيمُوا الصُّفُوفَ، وحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وسُدّوا الْخَلَلَ،
ولِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَروا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ،
وَمَنْ وَصَل صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ
الله"
Imam Abu Daud telah meriwayatkan melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh,
dari AbuzZahiriyah, dari Kasir ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Luruskanlah semua saf,
sejajarkanlah pundak-pundak (mu),tutuplah semua kekosongan (saf), dan
lunakkanlah tangan terhadap saudara-saudaramu, dan janganlah kamu
biarkan kekosongan (safjmu ditempati oleh setan. Barang siapa yang
menghubungkan safnya, maka Allah akan berhubungan dengannya; dan barang
siapa yang memutuskan saf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Karena itulah maka Ubay ibnu Ka'b yang terbilang pemimpin Ahli Qurra,
apabila sampai di saf yang pertama, maka dia mencabut seseorang darinya
yang orang itu termasuk salah seorang dari orang-orang yang berakal
lemah, lalu ia masuk ke dalam saf pertama menggantikannya. Ia lakukan
demikian karena berpegang kepada hadis berikut yang mengatakan:
"لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى".
Hendaklah mengiringiku dari kalian orang-orang yang berbudi dan berakal.
Lain halnya dengan sikap Abdullah ibnu Umar, ia tidak mau duduk di
tempat seseorang yang bangkit darinya untuk dia karena mengamalkan hadis
yang telah disebutkan di atas yang diketengahkan melalui riwayatnya
sendiri.
Untuk itu sudah dianggap cukup keterangan mengenai masalah ini dan semua
contoh yang berkaitan dengan makna ayat ini. Karena sesungguhnya
pembahasannya yang panjang lebar memerlukan tempat tersendiri, bukan
dalam kitab tafsir ini.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika kami (para sahabat) sedang
duduk bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datanglah tiga orang. Salah
seorang dari mereka menjumpai kekosongan dalam halqah, maka ia masuk dan
duduk padanya. Sedangkan yang lain hanya duduk di belakang orang-orang,
dan orang yang ketiga pergi lagi. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"ألا أنبئكم بِخَبَرِ الثَّلَاثَةِ، أَمَّا الْأَوَّلُ فَآوَى إِلَى
اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ، وَأَمَّا الثَّانِي فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا
اللَّهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ
عَنْهُ"
Ingatlah, aku akan menceritakan kepada kalian tentang orang yang terbaik
di antara tiga orang itu. Adapun orang yang pertama, dia berlindung
kepada Allah, maka Allah pun memberikan tempat baginya. Sedangkan orang
yang kedua, ia merasa malu, maka Allah merasa malu kepadanya. Dan adapun
orang yang ketiga, dia berpaling, maka Allah berpaling darinya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَتَّاب بْنُ زِيَادٍ، أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ
أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ziad,
telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami
Usamah ibnu Zaid, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah
ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak diperbolehkan bagi
seseorang memisahkan di antara dua orang (dalam suatu majelis),
melainkan dengan seizin keduanya.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu
Zaid Al-Laisi dengan sanad yang sama, dan Imam Turmuzi menilainya
hasan.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain
keduanya, bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.(Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka
mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah
kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya, berdirilah untuk
perang.
Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah.
(Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila kamu diundang untuk kebaikan, maka
datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu diundang untuk salat,
maka bersegeralah kamu kepadanya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka (para
sahabat) apabila berada di hadapan Nabi Saw. di rumahnya, dan masa bubar
telah tiba, maka masing-masing dari mereka menginginkan agar dirinyalah
orang yang paling akhir bubarnya dari sisi beliau. Dan adakalanya Nabi
Saw. merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena barangkali Nabi
Saw. mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka mereka diperintahkan
agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis. Hal ini semakna dengan
apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا}
Dan jika dikatakan kepadamu, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah kamu kembali. (An-Nur: 28)
Firman Allah Swt.:
{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)
Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila seseorang dari
kalian memberikan kelapangan untuk tempat duduk saudaranya yang baru
tiba, atau dia disuruh bangkit dari tempat duduknya untuk saudaranya
itu, hal itu mengurangi haknya (merendahkannya). Tidak, bahkan hal itu
merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi Allah, dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan Dia akan
memberikan balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya
barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah, niscaya Allah
akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan namanya. Karena itulah
maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak
untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Syihab, dari Abut Tufail alias Amir ibnu Wasilah, bahwa Nafi' ibnu Abdul
Haris bersua dengan Umar r.a. di Asfan, dan sebelumnya Umar telah
mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka Umar bertanya kepadanya,
"Siapakah yang menggantikanmu untuk memerintah ahli lembah itu (yakni
Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku angkat sebagai penggantiku terhadap mereka
Ibnu Abza seseorang dari bekas budak kami." Umar bertanya, "Engkau
angkat sebagai penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?"
Nafi' menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya dia adalah seorang
pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-Qur'an) dan alim mengenai
ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar r.a. berkata dengan
nada menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ"
Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-Qur'an) ini dan merendahkan kaum lainnya karenanya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui berbagai
jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan pula
melalui berbagai jalur dari Umar hal yang semisal.
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Para ulama berkata,
من كان بالله اعرف كان لله اخوف
“Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.”
Keutamaan menuntut ilmu sudah tercakup dalam hadits berikut.
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ
فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ
إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَدِيثٍ
بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ
لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ
وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »
Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di
Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai
Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu
‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang
telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan
hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di
antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya
sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu
dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan
yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu
dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar
dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para
Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham.
Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan
keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641).
Dari Abud Darda` radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ
طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي
جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ،
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
"Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka
Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah,
dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan
sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut
ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di
langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun
memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang
berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan
pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah
pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun
dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa
yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat
banyak." (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya
hasan, lihat Jaami'ul Ushuul 8/6)
Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang pemuliaan yang besar
yang akan didapatkan oleh penuntut ilmu, di mana para malaikat
meletakkan sayap-sayapnya untuknya sebagai sikap tawadhu' dan
penghormatan kepadanya, demikian juga makhluk-makhluk yang banyak baik
yang di langit, di bumi maupun di lautan dan makhluk lainnya yang tidak
ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah Subhaanah, semua makhluk
tadi memintakan ampun kepada Allah untuk penuntut ilmu dan mendo'akan
kebaikan untuknya.
Cukuplah bagi seorang penuntut ilmu sebagai kebanggaan bahwasanya dia
adalah orang yang sedang berusaha untuk mendapatkan warisannya para
Nabi, dan dia meninggalkan ahli dunia terhadap dunianya yang telah
dikumpulkan di atas hidangannya oleh para pecintanya di mana mereka
sibuk dengan perhiasannya dan berebutan kepadanya.
Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم الملائكة
وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به
ومشروط بحصوله
“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb
semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk
langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu.
Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang
berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris
Sa’adah, 1: 104).
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ
الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ
قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ،
وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا
النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا
طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ
تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ
وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ
مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ
الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah
bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah
yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib
(tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya),
maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak
orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu
manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat
mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an
(tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah
permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran
yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan
dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak
mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk
yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Orang yang
berilmu dan mengajarkan ilmu”. An Nawawi membawakan hadits ini dalam
Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya”.
Imam Nawawi –rahimahullah– mengatakan,
“Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan
yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah
itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah
tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan
tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan
ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu.
Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup.
Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang
lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga
bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya
sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air
sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak
dapat mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan
tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus
dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam
ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan.
Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga
yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya;
dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu
dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan
manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang
lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di
atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula
menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki
banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia
mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa
menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim,
15: 47-48)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar