Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقِتالُ إِذا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ
أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقالُوا رَبَّنا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتالَ
لَوْلا أَخَّرْتَنا إِلى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتاعُ الدُّنْيا قَلِيلٌ
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلاً (77)
أَيْنَما تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ
مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هذِهِ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ
كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمالِ هؤُلاءِ الْقَوْمِ لَا يَكادُونَ
يَفْقَهُونَ حَدِيثاً (78) مَا أَصابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَما
أَصابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْناكَ لِلنَّاسِ
رَسُولاً وَكَفى بِاللَّهِ شَهِيداً (79)
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka,
"Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah salat, dan
tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang,
tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia
(musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih (sangat) dari itu
takutnya. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan kepada
kami berperang? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang)
kepada kami sampai ke beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang
yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja
kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." Dan jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah." Dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari
sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah."
Maka mengapa orang-orang itu (munafikin) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikit pun? Apa.saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah; dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan
cukuplah Allah menjadi saksi.(QS An-Nisa: 77-79)
Dahulu di masa permulaan Islam ketika orang-orang mukmin masih berada di
Mekah, mereka diperintahkan untuk mengerjakan salat dan menunaikan
zakat, sekalipun masih belum ada ketentuan nisab-nya. Mereka
diperintahkan untuk membantu orang-orang yang miskin dari kalangan
mereka sendiri, diperintahkan pula bersikap pemaaf, mengampuni perbuatan
orang-orang musyrik, dan bersabar sampai datang perintah dari Allah.
Mereka sangat merindukan adanya perintah dari Allah yang memerintahkan
agar mereka berperang melawan musuh-musuh mereka, untuk membalas sakit
hati terhadap orang-orang musyrik yang selalu mengganggu mereka. Saat
itu perintah berperang masih belum sesuai karena banyak sebab, antara
lain ialah kaum muslim masih minoritas bila dibandingkan dengan musuh
mereka. Penyebab Lainnya ialah karena keberadaan kaum mukmin saat itu
ada di negeri mereka sendiri, yaitu di Tanah Suci Mekah yang merupakan
bagian dari bumi yang paling suci. Perintah untuk berperang di dalam
negeri mereka bukan atas dasar memulai, menurut suatu pendapat. Karena
itulah maka jihad baru diperintahkan hanya di Madinah, yaitu di saat
kaum mukmin telah mempunyai negeri sendiri, pertahanan, dan para
penolongnya.
Akan tetapi, setelah mereka diperintahkan berperang seperti yang mereka
dambakan sebelumnya, ternyata sebagian dari mereka ada yang mengeluh dan
menjadi takut menghadapi manusia dengan takut yang sangat. Hal ini
disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ}
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada
kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami
sampai ke beberapa waktu lagi?" (An-Nisa: 77)
Yakni mengapa tidak Engkau tangguhkan kewajiban berperang itu sampai
beberapa waktu yang lain, karena sesungguhnya perang itu berakibat
teralirkannya darah, anak-anak menjadi yatim, dan istri-istri menjadi
janda? Makna ayat ini sama dengan ayat Lainnya, yaitu firman-Nya:
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا لَوْلا نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مُحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتالُ
Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tiada diturunkan suatu
surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan
disebutkan di dalamnya (perintah) perang. (Muhammad: 20), hingga
beberapa ayat berikutnya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رِزْمة وَعَلِيُّ
بْنُ زِنْجَةَ قَالَا حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ، عَنِ الْحُسَيْنِ
بْنِ وَاقِدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابن
عباس: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَأَصْحَابًا لَهُ أَتَوُا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ، فَقَالُوا: يَا
نَبِيَّ اللَّهِ، كُنَّا فِي عِزٍّ وَنَحْنُ مُشْرِكُونَ، فَلَمَّا آمَنَّا
صِرْنَا أَذِلَّةً: قَالَ: "إِنِّي أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ فَلَا
تُقَاتِلُوا الْقَوْمَ". فَلَمَّا حَوَّلَهُ اللَّهُ إِلَى الْمَدِينَةِ
أَمَرَهُ بِالْقِتَالِ، فَكَفُّوا. فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ [وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ
مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً] }
الآية.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul
Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Aziz, dari
Abu Zar'ah dan Ali ibnu Rumhah; keduanya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Hasan, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Amr ibnu
Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf dan
beberapa orang temannya datang menemui Nabi Saw. di Mekah. Lalu mereka
berkata, "Wahai Nabi Allah, dahulu kami berada dalam kejayaan ketika
masih musyrik. Tetapi setelah beriman, kami menjadi kalah." Nabi Saw.
bersabda: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memberi maaf (terhadap
tindakan-tindakan kaum musyrik). Karena itu, janganlah kalian memerangi
kaum itu. Setelah Allah memindahkan Nabi Saw. ke Madinah, maka Allah
memerintahkannya untuk memerangi orang-orang musyrik. Ternyata mereka
yang berkata demikian tidak mau berperang. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada
mereka, "Tahanlah tangan kalian (dari berperang)." (An-Nisa: 77), hingga
akhir ayat.
Imam Nasai dan Imam Hakim serta Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq dengan lafaz yang sama.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa tiada yang diwajibkan atas kaum
mukmin saat itu kecuali hanya salat dan zakat. Lalu mereka meminta
kepada Allah agar diwajibkan berperang atas diri mereka. Ketika
diwajibkan atas mereka berperang, maka keadaannya berbeda, seperti yang
disebutkan firman-Nya: tiba-tiba sebagian dari mereka takut kepada
manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih (sangat)
dari itu takutnya. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau
wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada kami sampai ke beberapa waktu lagi?"
(An-Nisa: 77) Yang dimaksud dengan ajalin qarib ialah mati. Allah Swt.
berfirman: Katakanlah, "Kesenangan dunia ini hanya sebentar, dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa." (An-Nisa: 77)
Mujahid mengatakan, sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan
orang-orang Yahudi; diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Dan firman-Nya:
{قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى}
Katakanlah, "Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa." (An-Nisa: 77)
Artinya, akhirat bagi orang yang bertakwa adalah lebih baik daripada kehidupan dunianya.
{وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا}
dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. (An-Nisa: 77)
Tiada sedikit pun dari amal perbuatan kalian yang dianiaya, melainkan semuanya pasti ditunaikan dengan balasan yang sempurna.
Makna ayat ini mengandung pengertian hiburan bagi kaum mukmin dalam
menghadapi kehidupan dunia, sekaligus menanamkan rasa suka kepada pahala
akhirat serta menggugah mereka untuk berjihad.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan
kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Hisyam yang menceritakan bahwa
Al-Hasan Al-Basri membacakan firman-Nya: Katakanlah, "Kesenangan dunia
ini hanya sebentar." (An-Nisa: 77) Lalu ia berkata, "Semoga Allah
merahmati seorang hamba yang menilai duniawi dengan penilaian tersebut.
Dunia ini semuanya dari awal sampai akhir, tiada lain sama halnya dengan
seorang lelaki yang tertidur sejenak, lalu ia melihat dalam mimpinya
sesuatu yang disukainya. Tetapi tidak lama kemudian ia terbangun dari
tidurnya."
Ibnu Mu'in mengatakan bahwa Abu Mishar mengatakan dalam bait-bait syairnya:
وَلَا خَيْرَ فِي الدنيا لِمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ... مِنَ اللَّهِ فِي دَارِ الْمُقَامِ نَصيبُ...
فِإِنْ تُعْجب الدُّنْيَا رجَالا فِإِنْهَا ...مَتَاع قَلِيلٌ والزّوَال قريبُ ...
Tiada kebaikan pada dunia bagi orang yang tidak mempunyai bagian pahala
dari Allah di tempat yang kekal nanti. Jika dunia memang dapat membuat
terpesona banyak laki-laki, maka sesungguhnya dunia itu kesenangan yang
sebentar dan lenyapnya tidak lama lagi.
Firman Allah Swt
أَيْنَما تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun
kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (An-Nisa: 78)
Maksudnya, kalian pasti akan mati, dan tiada seorang pun dari kalian
yang selamat dari maut. Perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam
ayat lain, yaitu firman-Nya:
كُلُّ مَنْ عَلَيْها فانٍ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. (Ar-Rahman: 26)
كُلُّ نَفْسٍ ذائِقَةُ الْمَوْتِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (Ali Imran: 185)
وَما جَعَلْنا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.(Al-Anbiya: 34)
Makna yang dimaksud ialah setiap orang pasti akan mati, tiada sesuatu
pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam
berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia
itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta
kedudukan yang telah ditetapkan baginya. Seperti yang dikatakan oleh
Khalid ibnul Walid ketika menjelang kematiannya di atas tempat tidurnya:
لَقَدْ شَهِدْتُ كَذَا وَكَذَا مَوْقِفًا، وَمَا مِنْ عُضْوٍ مِنْ
أَعْضَائِي إِلَّا وَفِيهِ جُرْحٌ مِنْ طَعْنَةٍ أَوْ رَمْيَةٍ، وَهَا
أَنَا أَمُوتُ عَلَى فِرَاشِي، فَلَا نَامَتْ أَعْيُنُ الْجُبَنَاءِ
Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan perang anu, dan tiada
suatu anggota tubuhku melainkan padanya terdapat luka karena tusukan
atau lemparan panah. Tetapi sekarang aku mati di atas tempat tidurku,
semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur.
Firman Allah Swt.:
وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (An-Nisa: 78)
Yakni benteng yang kuat, kokoh, lagi tinggi.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan buruj ialah bintang-bintang
yang ada di langit. Pendapat ini dikatakan oleh As-Saddi, tetapi lemah.
Pendapat yang sahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya
adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada gunanya sikap waspada
dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut. Seperti yang
dikatakan oleh seorang penyair (Jahiliah), yaitu Zuhair ibnu Abu Salma:
وَمَن خَاف أسبابَ المَنيّة يَلْقَهَا ...وَلَوْ رَامَ أسبابَ السَّمَاءِ بسُلَّم
Barang siapa yang takut terhadap penyebab kematian, niscaya dia akan
didapatkannya sekalipun dia naik ke langit yang tinggi dengan memakai
tangga.
Kemudian menurut pendapat yang lain, al-musyayyadah sama artinya dengan
al-masyidah.Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَقَصْرٍ مَشِيدٍ
dan istana yang tinggi. (Al-Hajj: 45)
Menurut pendapat yang lainnya lagi, di antara keduanya terdapat
perbedaan, yaitu: Kalau dibaca al-musyayyadah dengan memakai tasydid
artinya yang ditinggikan, sedangkan kalau dibaca takhfif (tanpa
tasydid) artinya yang dibangun dengan memakai batu kapur.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan bab ini mengetengahkan
sebuah kisah panjang dari Mujahid: bahwa zaman dahulu terdapat seorang
wanita yang sedang melahirkan, lalu si wanita itu memerintahkan kepada
pelayannya untuk mencari api. Ketika si pelayan keluar, tiba-tiba ia
bersua dengan seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu (entah
dari mana datangnya). Lalu lelaki itu bertanya, "Apakah wanita itu telah
melahirkan bayinya?" Si pelayan menjawab, "Ya, seorang bayi perempuan."
Selanjutnya lelaki itu berkata, "Ingatlah, sesungguhnya bayi perempuan
itu kalau sudah dewasa nanti akan berbuat zina dengan seratus orang
laki-laki, kemudian ia dikawini oleh pelayan si wanita itu, dan kelak
matinya disebabkan oleh laba-laba." Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa
pelayan itu kemudian kembali ke dalam rumah dan dengan serta-merta ia
merobek perut si bayi dengan pisau hingga menganga lebar, lalu ia pergi
melarikan diri karena ia merasa yakin bahwa bayi itu telah mati. Melihat
hal itu ibu si bayi segera mengobati luka tersebut dengan menjahitnya.
Lama-kelamaan luka si bayi sembuh dan ia tumbuh hingga remaja. Setelah
dewasa, ia menjadi wanita yang tercantik di kotanya. Sedangkan si
pelayan yang kabur tadi pergi menjelajahi semua daerah, dan akhirnya ia
menjadi penyelam, lalu berhasil memperoleh harta yang berlimpah (dari
dalam laut). Dengan bekal harta itu ia menjadi orang yang paling kaya,
lalu ia kembali ke negerinya semula dan bermaksud untuk kawin. Untuk itu
ia berkata kepada seorang nenek, "Aku ingin kawin dengan wanita yang
paling cantik di kota ini." Si nenek berkata, "Di kota ini tidak ada
wanita yang lebih cantik dari si Fulanah." Ia berkata, "Kalau demikian
pergilah kamu untuk melamarnya buatku." Si nenek akhirnya berangkat ke
rumah wanita yang dimaksud, dan ternyata si wanita itu menyetujui
lamarannya. Ketika akan menggaulinya, ia sangat terpesona dengan
kecantikan istrinya itu. Maka si istri itu bertanya kepadanya mengenai
asal-usulnya. Lalu ia menceritakan kepada istrinya semua yang pernah ia
alami hingga menyangkut masalah bayi perempuan tadi. Maka si istri
menjawab, "Akulah bayi perempuan itu," lalu si istri memperlihatkan
bekas robekan yang ada pada perutnya, hingga ia percaya dengan bukti
tersebut. Ia berkata, "Jika dulu engkau benar-benar bayi tersebut,
sesungguhnya ada seorang lelaki (barangkali malaikat) yang
memberitahukan kepadaku tentang dua perkara yang merupakan suatu
keharusan akan menimpamu. Salah satunya ialah bahwa engkau telah berbuat
zina dengan seratus orang laki-laki." Si istri menjawab, "Memang aku
telah berbuat itu, tetapi aku lupa dengan berapa banyak lelaki aku
melakukannya." Si suami menjawab, "Jumlah mereka adalah seratus orang
laki-laki." Si suami melanjutkan kisahnya, "Hal yang kedua ialah engkau
akan mati karena seekor laba-laba." Karena si suami sangat mencintai
istrinya, maka ia membangunkan untuk si istri sebuah gedung yang kokoh
lagi tinggi untuk melindunginya dari penyebab tersebut. Tetapi pada
suatu hari ketika mereka sedang asyik masyuk, tiba-tiba ada seekor
laba-laba di atap rumah. Lalu ia memperlihatkan laba-laba itu kepada
istrinya. Maka si istri berkata, "Inikah yang engkau takutkan akan
menyerang diriku? Demi Allah, bahkan akulah yang akan membunuhnya." Para
pembantu menurunkan laba-laba itu dari atap ke bawah, kemudian si istri
dengan sengaja mendekatinya dan menginjaknya dengan jempol kakinya
hingga laba-laba itu mati seketika itu juga. Akan tetapi, takdir Allah
berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ternyata ada sebagian dari racun
laba-laba itu yang masuk ke dalam kuku jari kakinya dan terus menembus
ke dagingnya, hingga kaki si wanita itu menjadi hitam dan membusuk; hal
tersebutlah yang mengantarkannya kepada kematian.
Dalam pembahasan ini kami ketengahkan sebuah kisah tentang Raja Al-Hadar
yang bemama Satirun, ketika ia diserang oleh Raja Sabur yang mengepung
bentengnya. Akhirnya Sabur dapat membunuh semua orang yang ada di dalam
benteng sesudah mengepungnya selama dua tahun. Sehubungan dengan kisah
ini orang-orang Arab merekamnya ke dalam syair-syair mereka, yang antara
lain mengatakan:
Raja Al-Hadar, ketika membangun negerinya dan Sungai Tigris dialirkannya
menuju negerinya, begitu pula Sungai Khabur, ia membangun istananya
dengan memakai batu marmar dan lantainya memakai keramik yang indah lagi
anggun. Di atas puncak istananya yang tinggi itu banyak burung merpati
bersarang. Tangan-tangan kematian tidak ditakuti oleh benteng yang kokoh
lagi tinggi itu. Akan tetapi, si raja binasa dalam membela benteng-nya
yang kini menjadi reruntuhan yang ditinggalkan.
Ketika Ali masuk menemui Usman, ia mengatakan, "Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad." Kemudian Ali mengucapkan syair berikut:
Aku melihat bahwa maut tidak menyisakan seorang yang perkesa pun, dan
tidak pernah memberikan perlindungan kepada pemberontak di negeri ini
dan kawasan ini. Penduduk benteng tinggal dengan aman, sedangkan pintu
benteng dalam keadaan tertutup kemegahan dan tingginya menyamai
bukit-bukit.
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa Kisra Sabur yang dijuluki Zul Aktaf— yang
membunuh Satirun, Raja Al-Hadar. Tetapi di lain kesempatan Ibnu Hisyam
mengatakan pula bahwa sesungguhnya orang yang membunuh Raja Al-Hadar
adalah Sabur ibnu Ardsyir ibnu Babik, generasi pertama Raja Bani Sasan;
dia pulalah yang mengalahkan raja-raja Tawaif dan mengembalikan
kekuasaan kepada kekaisarannya. Adapun Sabur yang dijuluki Zul Aktaf,
dia baru muncul jauh sesudah itu.
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh As-Suhaili. Ibnu
Hisyam menceritakan bahwa Sabur mengepung benteng Satirun selama dua
tahun. Peperangan itu terjadi karena Satirunlah yang memulainya; Satirun
menyerang negeri Sabur di saat Raja Sabur sedang bepergian ke Irak.
Pada suatu hari putri Raja Satirun bernama Nadirah naik ke atas benteng,
lalu ia melihat-lihat, dan pandangan matanya tertuju ke arah Raja Sabur
yang memakai pakaian kebesaran yang terbuat dari kain sutra, di atas
kepalanya terdapat mahkota terbuat dari emas murni yang bertatahkan
intan dan berbagai macam batu permata yang amat langka. Hati si putri
terpikat, lalu ia menyusup menemuinya dan mengatakan kepadanya, "Jika
aku bukakan pintu benteng ini, maukah kamu memperistri diriku?" Maka
Raja Sabur menjawab, "Ya." Pada sore harinya Raja Satirun minum khamr
hingga mabuk, dan sudah menjadi kebiasaannya bila hendak tidur ia mabuk
terlebih dahulu. Maka putrinya mengambil kunci pintu gerbang benteng
dari bawah bantal ayahnya. Setelah itu kunci tersebut ia kirimkan kepada
Raja Sabur melalui seorang bekas budaknya, maka Raja Sabur dapat
membuka benteng tersebut. Menurut riwayat yang lain, si putri
menunjukkan kepada mereka sebuah rajah yang berada di dalam benteng itu.
Benteng tersebut tidak akan dapat dibuka sebelum diambil seckor burung
merpati abu-abu, lalu kedua kakinya dibasahi dengan kotoran darali haid
seorang gadis yang bermata biru, kemudian baru dilepaskan terbang.
Apabila burung merpati itu hinggap di atas tembok benteng, maka tembok
benteng itu akan runtuh dan terbukalah pintu gerbangnya. Raja Sabur
melakukan hal tersebut. Setelah pintu gerbang benteng terbuka, maka
Sabur membunuh Raja Satirun dan berlaku sewenang-wenang kepada penduduk
benteng, lalu merusaknya hingga menjadi puing-puing. Kemudian ia
berangkat bersama putri tersebut yang telah ia kawini. Tersebutlah bahwa
di suatu malam hari ketika si putri telah berada di atas peraduannya,
tiba-tiba ia gelisah, tidak dapat tidur. Hal ini membuat resah si raja,
lalu ia mengambil sebuah lilin dan memeriksa tempat tidur istrinya,
ternyata ia menjumpai selembar daun pohon as (yang pada zaman itu
sebagai kertas). Raja Sabur berkata kepadanya, "Rupanya inilah yang
menyebabkan kamu tidak dapat tidur. Apakah yang telah dilakukan oleh
ayahmu di masa lalu?" Ia menjawab, "Dahulu ayahku menghamparkan kain
sutra kasar buat permadaniku dan memakaikan kepadaku kain sutra yang
indah-indah, serta memberiku makan sumsum dan memberiku minuman khamr."
At-Tabari menceritakan bahwa dahulu ayah si putri memberinya makan
sumsum dan zubdah serta madu yang bermutu tinggi, dan memberinya minum
khamr.
At-Tabari menceritakan pula, bahwa Raja Sabur dapat melihat sumsum
betisnya (karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya, pent.).
Raja Sabur akhirnya berkata, "Ternyata jasa ayahmu itu dibalas olehmu
dengan air tuba, dan engkau pun pasti akan lebih cepat melakukan hal
yang sama terhadap diriku." Raja Sabur akhirnya memerintahkan agar
permaisurinya itu ditangkap, lalu gelungan rambutnya diikatkan ke buntut
kuda, kemudian kudanya dihardik untuk lari sekencang-kencangnya, hingga
matilah ia diseret kuda.
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ
dan jika mereka memperoleh kebaikan. (An-Nisa: 78)
Yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil
pertanian, banyak anak, dan lain-lainnya berupa rezeki. Demikianlah
menurut pendapat Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan As-Saddi.
{يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ}
mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah," dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana. (An-Nisa: 78)
Berupa paceklik, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa
kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang
merupakan bencana. Demikianlah menurut pendapat Abul Aliyah dan
As-Saddi.
{يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ}
mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." (An-Nisa: 78)
Yakni dari sisi kamu, disebabkan kami mengikuti kamu dan memasuki
agamamu. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya yang
menceritakan perihal kaum Fir'aun, yaitu:
{فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ}
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, "Ini
adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka
lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
mengikutinya. (Al-A'raf: 131)
Juga semakna dengan apa yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلى حَرْفٍ
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. (Al-Hajj: 11), hingga akhir ayat.
Demikian pula yang dikatakan oleh orang-orang munafik, yaitu mereka yang
masuk Islam lahiriahnya, sedangkan hati mereka benci terhadap Islam.
Karena itulah bila mereka tertimpa bencana, maka mereka kaitkan hal itu
dengan penyebab karena mengikuti Nabi Saw.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan jika mereka
memperoleh kebaikan. (An-Nisa: 78) Yang dimaksud dengan al-hasanah ialah
kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak
dengan pesatnya —begitu pula ternak kuda mereka— dan keadaan mereka
menjadi membaik serta istri-istri mereka melahirkan anak-anaknya. mereka
mengaiakan, "Ini adalah dari sisi Allah," dan kalau mereka tertimpa
sesuatu bencana. (An-Nisa: 78) Yang dimaksud dengan sayyiah ialah
kekeringan (paceklik) dan bencana yang menimpa harta mereka; maka mereka
melemparkan kesialan itu kepada Nabi Muhammad Saw., lalu mereka
mengatakan, "Ini gara-gara kamu." Dengan kata lain, mereka bermaksud
bahwa karena kami meninggalkan agama kami dan mengikuti Muhammad,
akhirnya kami tertimpa bencana ini. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya:Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah." (An-Nisa:
78) Adapun firman Allah Swt.:Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi
Allah." (An-Nisa:78) Maksudnya, semuanya itu adalah atas ketetapan dan
takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang, baik
terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan
baik terhadap orang mukmin maupun terhadap orang kafir, tanpa pandang
bulu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah." (An-Nisa:
78) Yaitu kebaikan dan keburukan itu semuanya dari Allah. Hal yang sama
dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri.
Kemudian Allah Swt. berfirman, mengingkari mereka yang mengatakan
demikian yang timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka, minimnya
pemahaman dan ilmu mereka yang diliputi dengan kebodohan dan aniaya,
yaitu:
{فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا}
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (An-Nisa: 78)
Sehubungan dengan firman-Nya: Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi
Allah." (An-Nisa: 78) terdapat sebuah hadis garib yang diriwayatkan oleh
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar.
حَدَّثَنَا السَّكن بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّان، عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كُنَّا
جُلُوسًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛
فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي قَبِيلَتَيْنِ مِنَ النَّاسِ، وَقَدِ
ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ قَرِيبًا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ وَجَلَسَ عُمَرُ قَرِيبًا
مِنْ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لِمَ ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُكُمَا؟ " فَقَالَ رَجُلٌ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: الْحَسَنَاتُ مِنَ اللَّهِ
وَالسَّيِّئَاتُ مِنْ أَنْفُسِنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فَمَا قُلْتَ يَا عُمَرُ؟ " قَالَ: قُلْتُ:
الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ مِنَ اللَّهِ. تَعَالَى. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أَوَّلَ مَنْ تَكَلَّمَ
فِيهِ جِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ، فَقَالَ مِيكَائِيلُ مَقَالَتَكَ يَا
أَبَا بَكْرٍ، وَقَالَ جِبْرِيلُ مَقَالَتَكَ يَا عُمَرُ فَقَالَ:
نَخْتَلِفُ فَيَخْتَلِفُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَإِنْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ
السَّمَاءِ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الْأَرْضِ. فَتَحَاكَمَا إِلَى إِسْرَافِيلَ،
فَقَضَى بَيْنَهُمْ أَنَّ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ مِنَ اللَّهِ".
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقَالَ "احْفَظَا قَضَائِي
بَيْنَكُمَا، لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَلَّا يُعْصَى لَمْ يَخْلُقْ
إِبْلِيسَ".
Telah menceritakan kepada kami As-Sakan ibnu Sa'id, telah menceritakan
kepada kami Umar ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu
Hammad, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya,
dari kakeknya yang telah menceritakan, "Ketika kami sedang duduk di sisi
Rasulullah Saw., datanglah Abu Bakar bersama dua kabilah, suara mereka
kedengaran amat gaduh. Lalu Abu Bakar duduk di dekat Nabi Saw. dan Umar
pun duduk di dekat Abu Bakar. Maka Rasulullah Saw. bertanya, 'Mengapa
suara kamu berdua kedengaran gaduh?' Seorang lelaki memberikan jawaban,
'Wahai Rasulullah, Abu Bakar mengatakan bahwa semua kebaikan dari Allah
dan semua keburukan dari diri kita sendiri.' Rasulullah Saw. bersabda,
'Lalu apakah yang kamu katakan, hai Umar?' Umar menjawab, 'Aku katakan
bahwa semua kebaikan dan keburukan dari Allah.' Rasulullah Saw.
bersabda,'Sesungguhnya orang yang mula-mula membicarakan masalah ini
adalah Jibril dan Mikail. Mikail mengatakan hal yang sama seperti apa
yang dikatakan olehmu, hai Abu Bakar. Sedangkan Jibril mengatakan hal
yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai Umar.'Nabi Saw.
melanjutkan kisahnya, 'Penduduk langit pun berselisih pendapat
mengenainya. Jika penduduk langit berselisih, maka penduduk bumi pun
berselisih pula. Lalu keduanya mengajukan permasalahannya kepada
Malaikat Israfil. Maka Israfil memutuskan di antara mereka dengan
keputusan bahwa semua kebaikan dan semua keburukan berasal dari Allah.'
Kemudian Rasulullah Saw. berpaling ke arah Abu Bakar dan Umar, lalu
bersabda, 'Ingatlah keputusanku ini olehmu berdua. Seandainya Allah
berkehendak untuk tidak didurhakai, niscaya Dia tidak akan menciptakan
iblis'."
Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
hadis ini maudu' lagi buatan, menurut kesepakatan ahli ma'rifah (para
ulama).
Kemudian Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya, tetapi makna yang
dimaksud ialah mencakup semua orang, sehingga firman berikut dapat
dianggap sebagai jawaban, yaitu:
{مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ}
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah. (An-Nisa: 79)
Yakni dari kemurahan Allah, kasih sayang serta rahmat-Nya.
{وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ}
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (An-Nisa: 79)
Yaitu akibat perbuatanmu sendiri. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).
(Asy-Syura: 30)
As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid mengatakan
sehubungan dengan firman-Nya:maka dari dirimu sendiri. (An-Nisa: 79)
Yaitu disebabkan dosamu sendiri.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dari dirimu
sendiri. (An-Nisa: 79) sebagai hukuman buatmu, hai anak Adam, karena
dosamu sendiri.
Qatadah mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami bahwa Nabi Saw. telah bersabda:
«لَا يُصِيبُ رَجُلًا خَدْشُ عُودٍ وَلَا عَثْرَةُ قَدَمٍ، وَلَا
اخْتِلَاجُ عِرْقٍ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَمَا يَعْفُو اللَّهُ أَكْثَرُ»
Tidak sekali-kali seseorang terkena lecet (karena tertusuk) kayu, tidak
pula kakinya tersandung, tidak pula uratnya terkilir, melainkan karena
dosa(nya), tetapi yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.
Hadis mursal yang diriwayatkan oleh Qatadah ini telah diriwayatkan
secara muttasil di dalam kitab sahih, yang bunyinya mengatakan:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ هَمٌّ وَلَا حَزَنٌ،
وَلَا نَصَبٌ، حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ
عَنْهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ»
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada
suatu kesusahan pun yang menimpa orang mukmin, tiada suatu kesedihan
pun, dan tiada suatu kelelahan pun, hingga duri yang menusuk (kaki)nya,
melainkan Allah menghapuskan sebagian dari dosa-dosanya karena musibah
itu.
Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan)mu sendiri. (An-Nisa: 79) Yakni
karena dosamu sendiri, dan Akulah (kata Allah) yang menakdirkannya atas
dirimu. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Salil ibnu Bakkar, telah
menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan
kepadaku Uqbah ibnu Wasil (keponakan Mutarrif), dari Mutarrif ibnu
Abdullah sendiri yang mengatakan, "Apakah yang kalian kehendaki dari
masalah takdir ini, tidakkah mencukupi kalian ayat yang ada di dalam
surat An-Nisa," yaitu firman-Nya: dan jika mereka memperoleh kebaikan,
mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah." Dan kalau mereka
ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi
kamu (Muhammad)." (An-Nisa: 78) Yaitu karena dirimu. Demi Allah, mereka
tidak diserahkan kepada takdir sepenuhnya karena mereka telah
diperintah, dan ternyata yang terjadi adalah seperti yang mereka alami.
Hal ini merupakan pendapat yang kuat lagi kokoh untuk membantah aliran
Qadariyah dan Jabariyah sekaligus. Mengenai rinciannya, disebutkan di
dalam kitab yang lain.
Firman Allah Swt.:
وَأَرْسَلْناكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا
Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. (An-Nisa: 79)
untuk menyampaikan kepada mereka syariat-syariat (perintah-perintah)
Allah, hal-hal yang disukai dan diridai-Nya, serta semua hal yang
dibenci dan ditolak-Nya.
{وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}
Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa: 79)
Yakni saksi yang menyatakan bahwa Dialah yang mengutusmu. Dia menjadi
saksi pula antara kamu dan mereka, Dia Maha Mengetahui semua yang engkau
sampaikan kepada mereka, juga jawaban serta sanggahan mereka terhadap
perkara hak yang kamu sampaikan kepada mereka karena kekufuran dan
keingkaran mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar