Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(23)
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang
perempuan; saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak
kalian yang perempuan; saudara-saudara ibu kalian yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak
perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang
menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibu-ibu istri kalian
(mertua) anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung
kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nisa:23).
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita
mahram dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena
sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu
Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah
diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena
mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: Diharamkan
atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian (An-Nisa: 23), hingga akhir
ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu
Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang
karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun(kerabat karena
perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Diharamkan atas
kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan:
saudara-saudara kalian yang perempuan; saudara-saudara bapak kalian yang
perempuan: saudara-saudara ibu kalian yang perempuan: anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki kalian: dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan kalian ( An-Nisa: 23)
Mereka adalah mahram dari nasab.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang
terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna
firman-Nya: dan anak-anak perempuan kalian.(An-Nisa: 23)
Walaupun bagaimana keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan,
sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat.
Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu
Hambal.
Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak
tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'. Sebagaimana pula ia
(anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firman-Nya:
Allah telah menyariatkan bagi kalian tentang pembagian pusaka. Yaitu
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
(An-Nisa: 11)
Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewaris menurut kesepakatan. Maka
ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini (An-Nisa:23).
Firman Allah Swt.:
{وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ}
Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian. (An-Nisa: 23)
Sebagaimana diharamkan atas kamu mengawini ibu kamu yang telah
melahirkanmu, maka diharamkan pula atas dirimu mengawini ibumu yang
telah menyusukanmu.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Malik ibnu Anas, dari
Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah
binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ»
Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.
Menurut lafaz Imam Muslim disebutkan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُم مِنَ النَّسَبِ"
Diharamkan karena persusuan hal-hal yang diharamkan karena nasab.
Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan
karena hubungan nasab. diharamkan pula karena hubungan persusuan,
kecuali dalam empat gambaran. Sebagian dari mereka mengatakan enam
gambaran. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu' (fiqih).
Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun
dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan
sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya
diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk
itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadis
menurut kaidah asalnya.
Kemudian para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang
dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai
menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman
makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan
diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh
Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan
kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam
kitab Sahih Muslin: melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari
Siti Aisyah. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تُحرِّم المصةُ وَالْمَصَّتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari
Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ، وَالْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ»
Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali
persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
"لَا تُحَرِّمُ الإمْلاجَة وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Hadis riwayat Imam Muslim.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal,
Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadis ini diriwayatkan pula
dari Ali, Siti Aisyah. Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar.
dan Sa'id ibnu Jubair.
Ulama lainnya berpendapat. tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang
kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadis yang terdapat di
dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu
Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu
termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya:
Sepuluh kali persusuan yang telah dimaklumi dapat menjadikan
mahram.Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang
dimaklumi. Lalu Nabi Saw. wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian
dari Al-Qur'an yang dibaca.
Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang semisal.
Di dalam hadis Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim
maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan.
Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang
menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan
kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i
dan murid-muridnya.
Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan
dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat
jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di
dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya:
{يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (Al-Baqarah: 233)
Kemudian para ulama berselisih pendapat kemahraman akibat air susu dari
pihak ayah persusuan. seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut
Imam yang empat dan lain-lainnya: ataukah persusuan mengakibatkan mahram
hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak
ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf.
Semuanya dihubungkan dengan masalah ini ada dua pendapat.
Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih.
Firman Allah Swt.:
{وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
ibu-ibu istri kalian (mertua kalian); anak-anak istri kalian yang dalam
pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika
kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan),
maka tidak berdosa kalian mengawininya. (An-Nisa: 23)
Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si
lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun
belum menggaulinya.
Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum
dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika
si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum
digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas
istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam
firman-Nya:anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.
(An-Nisa: 23)
Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja. Akan tetapi, sebagian
ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan
bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri
dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah
dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan
menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya: tetapi jika kamu
belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu)
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.
(An-Nisa: 23)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id,
dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali r.a. sehubungan dengan
seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu
menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan
boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali r.a. menjawab bahwa ibu si wanita
itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada
kami Yahya. dari Qatadah. dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit
yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum
mengaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya
itu."
Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Sa’id, dari Zaid ibnu
Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami
menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya.
Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum
menggaulinya. jika ia suka boleh mengawini ibunya "
Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari
Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs
telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda", bahwa
Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan
dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan
kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal
dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan
ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata
(kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah
mengatakan. Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah
tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar.
Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan
apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku
menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang
dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak
berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula
mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja
masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam
jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang tidak pula mengizinkan aku
melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita
itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang
mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh
dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum
menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung
misteri.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid
(Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak istri kalian yang dalam
pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Makna yang dimaksud ialah bila
menggauli kedua-duanya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz
Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Mu’awiyah
bersikap abstain (diam) dalam masalah ini.
Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang berpendapat demikian ialah
Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i
dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal,
tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
Imam Tabrani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu
Ibrahim Ad-Duburi. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari
As-Sauri, dari Abu Farwah. dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud,
bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini
seorang wanita. lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya.
Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud
memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh
kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak
anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang
menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut
tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki
tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." lalu si lelaki
menceraikan istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya
karena melakukan akad nikah dengan ibunya. lain halnya dengan ibu;
sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan
akad nikah dengan ibunya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari
Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan. apabila seorang lelaki
menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri
meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya
tidak halal baginya.
Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya
masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan sebagai hal yang makruh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah. Ata, Al-Hasan, Makhul, Ibnu
Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang empat dan ulama fiqih yang
tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang
sekarang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang
yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham
(misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya
persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah
ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini persyaratan adanya
persetubuhan ditetapkan.
Menurut kesepakatan hujah yang tidak dapat dibantah lagi, ditetapkan hal yang sama (yaitu adanya syarat bersetubuh).
Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang berpredikat garib mengenai hal
tersebut dan di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadis itu
adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna.
حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ،
أَخْبَرَنَا الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جده عن النبي صلىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا
نَكَحَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ
أُمَّهَا، دُخِلَ بِالْبِنْتِ أَوْ لَمْ يُدْخَلَ، وَإِذَا تَزَوَّجَ
الْأُمَّ فَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ تَزَوَّجَ
الِابْنَةَ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami
Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki
mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita
itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya.Dan
apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan
menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini sekalipun di dalam sanad-nya
terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan sesungguhnya menurut
kesepakatan hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah
dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung
kepada kesahihan hadis tersebut.
Adapun mengenai firman-Nya:
{وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ}
anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu. (An-Nisa: 23)
Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa
memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang
bersangkutan ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini
dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum
pengertian apa pun. Perihalnya sama dengan firman-Nya:
{وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian melakukan pelacuran. Sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ -وَفِي
لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: عَزَّةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ-قَالَ: "أَوْ
تُحِبِّينَ ذَلِكَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، لَسْتُ لَكَ بمُخْليَة، وَأَحَبُّ
مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَحل
لِي". قَالَتْ: فَإِنَّا نُحَدثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ
أَبِي سَلَمَةَ. قَالَ بنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ؟ " قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ:
إِنَّهَا لَوْ لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي،
إِنَّهَا لَبِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا
سَلَمَةَ ثُوَيْبَة فَلَا تَعْرضْن عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا
أَخَوَاتِكُنَّ". وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: "إِنِّي لَوْ لَمْ
أَتَزَوَّجْ أُمَّ سَلَمَةَ مَا حَلَّتْ لِي"
"Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku. yaitu anak perempuan
Abu Sufyan." - Menurut lafaz Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah
binti Abu Sufyan - Nabi Saw. menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?"
Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin
agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara
perempuanku sendiri." Nabi Saw. Menjawab: ”Sesungguhnya hal tersebut
tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. '"Sesungguhnya kami para
istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak
perempuan Abu Salamah." Nabi Saw. bertanya:Anak perempuan Ummu Salamah?"
Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda:Sesungguhnya dia
jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap
tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan
saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh
Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan
kalian, jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.
Menurut riwayat Imam Bukhari disebutkan seperti berikut: Sesungguhnya
aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu
Salamah) tetap tidak halal bagiku.
Dalam hadis ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau
Saw. dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya
dengan penyebab tersebut.
Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang
menyebabkan rabibahmenjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam
pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam
pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan
kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, telah
menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan,
"Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan
sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya.
Ketika Ali ibnu Abu Talib bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?'
Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia
punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali
bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku
menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah
dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan:
anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23).
Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu.
Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Talib
dengan syarat Muslim. Akan tetapi Pendapat ini garib (aneh) sekali.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua
muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu
Hazm.
Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepada Imam Ibnu Katsir
bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqi’uddin Ibnu Taimiyyah,
maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam
terhadapnya.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul
Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan
kepada kami Al-Asram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan firman-Nya:
yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Yakni di dalam rumah-rumah
kalian.
Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang
diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa
Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang
wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian
salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar
berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." ia bermaksud
bahwa ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Asar ini
munqati'.
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan
kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari
Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah
seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang
kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab.”Keduanya dihalalkan
oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku
tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki
menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari
milkul yamin (budak perempuan). Karena sesung-guhnya Allah Swt.
mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya: ibu-ibu istri
kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan
kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23) Milkul
Yaminmenurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang
diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak
pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa,
tidak pula selain mereka.
Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak
perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara
bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh
Qatadah, dari Abul Aliyah.
Makna firman-Nya:
{اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ}
dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23)
Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang dimaksud dengan dukhlah
ialah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta
meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya,
"Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah
keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup
membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama khalwat seorang lelaki
dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si
lelaki. jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri
dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri
dengan nafsu berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa si lelaki
telah sampai kepada istrinya melalui jimak (hal ini cukup menjadikan
mahram anak perempuan istri bagi si suami).
Firman Allah Swt.:
{وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ}
dan istri-istri anak kandung kalian (menantu)
Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang
lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk
mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah.
Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
فَلَمَّا قَضى زَيْدٌ مِنْها وَطَراً زَوَّجْناكَها لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْواجِ أَدْعِيائِهِمْ
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak
angkat mereka. (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata mengenai
makna firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian. (An-Nisa: 23)
Kami pernah menceritakan hanya Allah yang lebih mengetahui bahwa ketika
Nabi Saw. mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah
memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan
istri-istri anak kandung kalian. (An-Nisa: 23); dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian. (Al-Ahzab: 4);
Turun pula firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kalian. (Al-Ahzab: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami,
telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari
Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung makna yang
mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: dan istri-istri anak kandung
kalian(An-Nisa: 23) serta firman-Nya: ibu-ibu istri kalian(mertua).
(An-Nisa: 23)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Mak-hul hal yang semisal.
Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah
digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut menjadikan mahram
hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Hal inilah yang telah
disepakati.
Jika dikatakan bahwa dari segi apakah menjadi mahram istri anak
sepersusuannya, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Tetapi
sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia
bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri).
Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ".
Diharamkan karena rada (persusuan) hal-hal yang diharamkan karena nasab.
Firman Allah Swt.:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali
yang telah terjadi di masa lampau. (An-Nisa: 23). hingga akhir ayat.
Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam
suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul
yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi
di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang
bersaudara di masa mendatang. karena dikecualikan oleh ayat hal-hal yang
telah terjadi di masa silam.
Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلا الْمَوْتَةَ الأولَى}
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia). (Ad-Dukhan: 56)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di
dalamnya untuk selama-lamanya (yakni mereka hidup kekal di dalamnya).
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam baik yang
terdahulu maupun yang sekarang sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua
wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam,
sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia
diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya,
tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani,
dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika
masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara.
Maka Nabi Saw. memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam Tumiuzi
mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya
menerima hadis ini dari Abu Wahb Al-Jusyani Imam Turmuzi mengatakan
bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya', dari Ad-Dahhak
ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam Tumiuzi. lalu Nabi Saw. bersabda:
"اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ"
Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ
مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْخَوْلَانِيُّ
حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ،
عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوة عَنْ رُزَيق بْنِ
حَكِيمٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، عَنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ تَحْتِي أُخْتَيْنِ؟ قَالَ: "طَلق أَيَّهُمَا
شِئْتَ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Yahya Al-Khaulani. telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu
Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq
ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu
Murrah. dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang
bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu
kehendaki."
Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami,
seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat
tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya
menjadi nabi: semoga Allah melaknatnya.
Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah,
telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan
kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu
Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai
seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan,
maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan
kepadanya firman Allah Swt. yang mengatakan: Kecuali budak-budak yang
kamu miliki. (An-Nisa: 24) Maka Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Ternak untamu
termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)."
Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam
serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi
masalah ini (tawaqquf).
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab. dari Qubaisah ibnu Zuaib,
bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan
tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh
dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya
dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku
sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari
hadapan Usman r.a., lalu bersua dengan seorang lelaki dari kalangan
sahabat Rasulullah Saw. ia bertanya kepadanya tentang masalah itu,
kemudian sahabat Nabi Saw. berkata, "Seandainya dirinya mempunyai
kekuasaan. lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut. niscaya
ia benar-benar akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: Menurut Ibnu
Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. itu
adalah Ali ibnu Abu Talib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai
kepadaku hal yang semisal dari Az-Zubair ibnul Awwam."
Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya
Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang le!aki dari sahabat
Nabi Saw. tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu
Aba Talib tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu Marwan
(yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Talib). Mereka merasa keberatan
bila menyebut nama Ali ibnu Abu Talib r.a. dengan sebutan yang jelas.
Kemudian Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu
Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan
kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan
Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari
Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku has ibnu
Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Talib.
Untuk itu aku katakan, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara
budak-budak wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya
dan ia melahirkan untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada
saudara perempuannya, apakah yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Talib
r.a. menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang telah kamu campuri
itu. kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya." Aku berkata, "Akan
tetapi. orang-orang (para ulama) mengatakan bahwa aku boleh
mengawininya dan menggauli yang lainnya." Ali ibnu Abu Talib berkata,
'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya
meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu
memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali
memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas
kamu terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang diharamkan di dalam
Kitabullah terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali
mengatakan, "Kecuali empat orang istri. dan diharamkan pula atas dirimu
sehubungan dengan masalah persusuan hal-hal yang diharamkan di dalam
Kitabullah sehubungan dengan nasab."
Kemudian Abu Umar berkata bahwa asar ini merupakan hasil jerih payah
perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh dari kawasan Magrib yang
terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya asar ini, yaitu
ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan pula dari Ali dari Usman.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah
ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib
pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan
dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang
bersaudara tadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku
untuk mendekatkan diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan
pendekatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba
sahaya wanita. Dahulu orang-orang Jahiliah mengharamkan semua hal yang
kalian haramkan —kecuali istri ayah (ibu tiri)— dan menghimpun dua
wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka Allah
menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau.
(An-Nisa: 22)
Firman Allah Swt. yang mengatakan: danmenghimpunkan dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (An-Nisa: 23)
Yakni dalam pernikahan.
Selanjutnya Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Hambal telah
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari
Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa
diharamkan terhadap budak-budak wanita hal-hal yang diharamkan terhadap
wanita-wanita merdeka. kecuali bilangan (poligami).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Asy-Sya'bi hal yang semisal.
Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dengan
perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu
Abbas. Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada se-orang pun dari
kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri
Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib
(Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena
mengikut kepada makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang
yang mengamalkan demikian secara terang-terangan harus dikucilkan bila
kita berkumpul dengannya.
Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara
dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal
tersebut tidak dihalalkan dalam nikah.
Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya: Diharamkan atas kalian
(mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan
saudara-saudara perempuan kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
Bahwa nikah dan milkul yaminterhadap mereka (yang disebut di dalam ayat
ini) sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan
suatu keharusan ketentuan hukum ini berlaku secara rasio dan analogi
terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta
masalah ibu-ibu istri dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang
berlaku di kalangan jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar