Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ
رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ
أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ (196)
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah)
kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala kalian
sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara
kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur),
maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksaan-Nya. (QS Al-Baqoroh Ayat-196)
Menurut pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan
semua pekerjaan haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya.
Karena itulah sesudahnya disebutkan:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ}
Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196)
Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat
hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh
atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki
ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat
yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun sunat, seperti
pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami telah menyebutkan
kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul Ahkam secara
rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah,
dari Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan
ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian
bilamana kamu telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus.
Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan
takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu
ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya
untuk haji dan umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan
tujuan kamu bukan untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya.
Ketika kamu sudah berada di dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya
aku melakukan haji atau umrah," yang demikian itu sudah dianggap cukup,
tetapi yang sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain
kecuali hanya untuk itu.
Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai keduanya dari miqat-nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar
pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196)
Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila kamu
meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpisah, dan kamu
lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena sesungguhnya
Allah Swt. telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim
ibnu Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam
bulan-bulan haji kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya,
"Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut
mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan tersebut dianggap sempurna."
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. Akan tetapi,
pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah
hadis bahwa Rasulullah Saw. melakukan umrahnya sebanyak empat kali,
semuanya beliau lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam
bulan Zul-Qa'dah tahun enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah
tahun ketujuh Hijriah, umrah ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun
delapan Hijriah, dan umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji beliau
berihram untuk keduanya secara bersamaan (qiran) dalam bulan Zul-Qa'dah
tahun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak melakukan umrah lagi selain
dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi Saw.
bersabda kepada Ummu Hani':
"عُمْرة فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي"
Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji bersamaku.
Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah
haji bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya karena masa
sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam
hadis Imam Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa
hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah
(kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah.
(Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah
haji atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum
menyempurnakan keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban.
Bila ia telah melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i
antara Safa dan Marwah; setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba
masa tahallul-nya.
Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas
pernah mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari
Alqamah sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan
umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat
Abdullah ibnu Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji
dan umrah sampai ke Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di
sekitar Baitullah, tidak melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan
bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh
Ibnu Abbas.
Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia
pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke
Baitullah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim,
dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan
berikut yang artinya, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke
Baitullah."
Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafaz al-umrah, dan ia
mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak wajib, melainkan sunat.
Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda, yakni yang
mengatakan wajib.
Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui
berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa
Rasulullah Saw. dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah
umrah. Ditetapkan di dalam hadis sahih yang bersumber dari Nabi Saw.
bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada para sahabat:
"مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْي فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ"
Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.
Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat
ini meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا غَسَّانُ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ طَهْمَان، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّهُ
قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُتَضَمِّخٌ بِالزَّعْفَرَانِ، عَلَيْهِ جُبَّةٌ، فَقَالَ: كَيْفَ
تَأْمُرُنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي عُمْرَتِي؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ
اللَّهُ: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} فَقَالَ رسولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ
العُمْرة؟ " فَقَالَ: هَا أَنَا ذَا. فَقَالَ لَهُ: "أَلْقِ عَنْكَ
ثِيَابَكَ، ثُمَّ اغْتَسِلْ، وَاسْتَنْشِقْ مَا اسْتَطَعْتَ، ثُمَّ مَا
كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجّك فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan
kepada kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami
Gassan Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman,
dari Ata, dari Safwan ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang
lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan memakai minyak wangi
za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu lelaki itu bertanya,
"Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku menurutmu, wahai
Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu Rasulullah Saw.
bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah tadi?" Lelaki
itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. bersabda kepadanya,"Lepaskanlah
bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut kemampuanmu.
Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula
dalam ibadah umrahmu."
Hadis ini garib dan konteksnya aneh.
Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu Umayyah
dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi Saw. ketika di
Ji'ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu
tentang seorang lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai
kain jubah yang dilumuri dengan minyak za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu
turunlah wahyu kepadanya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan
bertanya, "Manakah orang yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab,
"Inilah aku." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَمَّا الْجُبَّةُ فَانْزَعْهَا، وَأَمَّا الطِّيبُ الذِي بِكَ
فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ فَاصْنَعْهُ فِي
عُمْرتك"
Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai
wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu
lakukan dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.
Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air
dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula
sebutan asbabun nuzul ayat ini. Hadis ini dari Ya'la ibnu Umayyah,
bukan Safwan ibnu Umayyah.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah,
yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik
menghalang-halangi antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, hingga beliau
tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan
peristiwa ini di dalam surat Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan
bagi mereka keringanan, yaitu mereka diperbolehkan menyembelih hewan
hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang mereka bawa saat itu
kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur rambut mereka
masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram mereka.
Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk
mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada
mulanya mereka tidak mau melakukannya karena menunggu adanya perintah
nasakh. Maka terpaksa Rasulullah Saw. keluar dan mencukur rambutnya,
lalu orang-orang mengikuti jejaknya; dan di antara mereka ada
orang-orang yang hanya memotong rambutnya saja, tidak mencukurnya.
Karena itulah Nabi Saw. bersabda:
"رَحِم اللَّهُ المُحَلِّقين". قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ: "وَالْمُقَصِّرِينَ"
"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong
rambutnya." Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah Saw. berdoa, "Dan
juga orang-orang yang mencukur rambutnya."
Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang
satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat
ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci.
Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota
Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di
luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh
musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang
dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada
dua pendapat mengenai masalah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari
Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa tiada kepungan kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena
sakit atau penyakitnya kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa
pun atas dirinya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:
Apabila kalian telah (merasa) aman. (Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan
aman itu ialah bila tidak dikepung.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam.
Pendapat yang kedua mengatakan, pengertianhasr (terkepung) lebih umum
daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena
tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا
حَجَّاج بْنُ الصوّافُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ،
عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "من كُسِر أَوْ عَرِج فَقَدْ
حَلَّ، وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id,
telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu
Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang
patah tulang atau sakit atau pincang, maka sesungguhnya dia telah
ber-tahallul, dan wajib atas dirinya melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini
kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan bahwa dia
(yakni Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari) memang benar.
Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis ini melalui Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama.
Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:
مَنْ عَرَجَ أَوْ كُسر أَوْ مَرض
Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.
Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni semakna dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail
ibnu Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafaz yang
sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair,
Mujahid, An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka
mengatakan, "Yang dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh
musuh atau sakit atau patah tulang."
As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang mengganggu.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَل عَلَى ضُبَاعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ،
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا
شَاكِيَةٌ. فَقَالَ: "حُجِّي وَاشْتَرِطِي: أنَّ مَحِلِّي حيثُ حبَسْتَني"
dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti
Zubair ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan
sakit (sedang haid)." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Berhajilah kamu dan
syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit
(haid) menahanku.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang
semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan
persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa
kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan
landasannya. Imam Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz
(orang-orang yang hafal hadis) mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Firman Allah Swt.:
{فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari
Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah
didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah
seekor kambing.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan
hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan
domba.
As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya
menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud
ialah ternak kambing.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah,
Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi,
An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan
lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya
ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya
berpendapat sehubungan dengan hewan kurban yang mudah didapat, bahwa
yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis ternak, yaitu berupa unta dan
sapi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim, Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat
pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah.
Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara
mereka bahwa Nabi Saw. dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing,
melainkan yang disembelih oleh mereka sebagai kurban ialah ternak unta
dan sapi.
Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:
أَمَرَنَا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan
sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka
(wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah:
196) Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah
orang kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan
jika dia bukan orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak
sapi. Jika dia termasuk golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya,
hendaklah ia berkurban dengan menyembelih seekor kambing."
Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan
firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah
didapat. (Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan
standar ialah menurut pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya.
Sebagai dalil yang membenarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan
cukup menyembelih kambing bila dalam keadaan terkepung, bahwa Allah Swt.
hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban yang mudah didapat, yakni
berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan hadyu, baik berupa
unta, sapi, ataupun kambing.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini
terbukti di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a.
yang menceritakan:
أهْدَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرة غَنَمًا
Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.
{وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ}
Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196)
Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196)
Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi Saw.
bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah yaitu ketika orang-orang
kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci beliau Saw. bersama
para sahabatnya bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar
Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci,
tidak boleh baginya mencukur rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul)
sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Orang yang
berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia
sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya
jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di
dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلّوا مِنَ الْعُمْرَةِ، وَلَمْ
تَحِلّ أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ؟ فَقَالَ: "إِنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي
وقلَّدت هَدْيي، فَلَا أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ"
"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya,
sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi
Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan
telah kukalungi hewan kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum
menyembelih hewan kurbanku."
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau
bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْقل،
قَالَ: فَعُدْتُ إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ
-يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ -فَسَأَلْتُهُ عَنْ {فَفِدْيَةٌ مِنْ
صِيَامٍ} فَقَالَ: حُملْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ والقملُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ: "مَا كنتُ أرَى
أَنَّ الجَهد بَلَغَ بِكَ هَذَا! أَمَا تَجِدُ شَاةً؟ " قُلْتُ: لَا.
قَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ،
لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ طَعَامٍ، وَاحْلِقْ رَأْسَكَ".
فَنَزَلَتْ فِيَّ خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani,
bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah
duduk di dekat Ka'b ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah).
Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah yang berupa melakukan puasa.
Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa ia berangkat untuk bergabung dengan
Nabi Saw., sedangkan ketombe bertebaran di wajahnya. Maka Nabi Saw.
bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa kepayahan yang menimpamu
sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai kambing?' Ia menjawab,
'Tidak.' Nabi Saw. bersabda, 'Puasalah tiga hari atau berilah makan enam
orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’ makanan, dan
cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah ayat
ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup
kalian semua'."
وَقَالَ الْإِمَامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا إسماعيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ
عُجْرَة قَالَ: أَتَى عَلَيّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، والقَمْلُ يتناثَرُ عَلَى
وَجْهِي -أَوْ قَالَ: حَاجِبِي -فَقَالَ: "يُؤْذيك هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ ".
قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "فَاحْلِقْهُ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ
أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسَكْ نَسِيكَةً". قَالَ أَيُّوبُ:
لَا أَدْرِي بِأَيَّتِهِنَّ بَدَأَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila, dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi Saw. datang kepadaku
ketika aku sedang menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di
wajahku, atau dia mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda,
"Apakah penyakit yang ada di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab,
"Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga
hari (sebagai fidyahnya), atau berilah makan enam orang miskin, atau
sembelihlah seekor hewan kurban." Ayyub (salah seorang perawi hadis ini)
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui manakah di antara semua fidyah itu
yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam,
telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur
Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika
kami berada di Hudaibiyah bersama Rasulullah Saw., sedangkan kami
semuanya dalam keadaan berihram, dan orang-orang musyrik telah
mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat, maka ketombe
bertebaran di wajahku (karena banyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di
dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?'
Maka Nabi Saw. memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur."
Selanjutnya Ka'b ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut,
yaitu firman-Nya: Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya
berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah:
196)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama.
Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu
Abu Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari
Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. Imam Malik
meriwayatkannya dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman
ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadis
yang semisal.
Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh,
dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah
mengatakan, "Maka aku menyembelih seekor kambing."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan pula
melalui hadis Umar ibnu Qais dia orangnya daif dari Ata, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
النُّسُكُ شَاةٌ، وَالصِّيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ، وَالطَّعَامُ فَرَق، بَيْنَ سِتَّةٍ"
Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari,
sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang(miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim, Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى،
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ: أَنَّ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ
حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كعب ابن عُجْرة: أَنَّهُ
كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآذَاهُ
القَمْل فِي رَأْسِهِ، فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ، وَقَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ،
أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، مُدّين مُدَّيْنِ لِكُلِّ إِنْسَانٍ،
أَوِ انسُك شَاةً، أيَّ ذَلِكَ فعلتَ أَجْزَأَ عَنْكَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu
Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa
Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim
ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,
dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan bahwa ia pernah bersama
Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh banyaknya ketombe di kepalanya.
Maka Nabi Saw. memerintahkan agar ia mencukur rambutnya dan bersabda:
Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin dua mud-dua
mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja di antaranya
yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai fidyahmu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari
Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196) Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf
yang dipakai adalah au, maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah
mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Tawus, Al-Hasan,
Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dahhak, lalu disebutkan hal
yang semisal.
Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama
merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan
bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah
satu di antara puasa, atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga
sa' untuk setiap orang miskin —setengah sa' yakni dua mud— atau
menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir
miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan
Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah
yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:Maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b
ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih
dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau Saw. bersabda:
Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau
berpuasalah tiga hari.
Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah
menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair
tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah,
yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka
Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan
sebagai tolok ukurnya. Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor
kambing, hendaklah ia membeli seekor kambing. Jika kambing tidak ada,
maka harga kambing ditaksir, lalu jumlahnya diberikan berupa makanan
untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika ia tidak mempunyai uang,
hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa’ ganti dengan puasa satu hari
(hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam hari).
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula
dari Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata
kepadaku, 'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia
adalah Ibrahim.' Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia
duduk bersama kita.' Lalu aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika
kuceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka
Ibrahim pergi dari majelis itu."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Imran, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az, dari
ayahnya, dari Asy'as, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaiiu berpuasa atau bersedekah atau
berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gangguan di
kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan salah satu di
antara ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. Kalau puasa
sebanyak sepuluh hari, kalau sedekah memberi makan sepuluh orang miskin
dengan ketentuan tiap orang miskin sebanyak dua Makkuk' (1 Makkuk l.k
3,264 kg.) yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Makkuk
lainnya berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk ialah
menyembelih kurban, berupa seekor kambing.
Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan
firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau
bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan
sedekah ialah memberi makan sepuluh orang miskin.
Kedua pendapat ini yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan
Alqamah serta Al-Hasan dan Ikrimah merupakan dua pendapat yang aneh,
keduanya masih perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh
sunnah melalui hadis Ka'b ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari,
bukan enam hari; dan memberi makan adalah kepada enam orang miskin,
nusuk artinya menyembelih seekor kambing. Hal tersebut atas dasar
takhyir (boleh memilih salah satu di antaranya), seperti yang
ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. Adapun mengenai tartib
(urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh binatang
buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur'an dan telah
disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus,
bahwa ia selalu mengatakan sehubungan dengan masalah damatau memberi
makan; hal itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa
boleh dilakukan di mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang
bersangkutan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan
Al-Hasan.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abdul Malik
serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan bahwa masalah
apa saja yang menyangkut dam dilaksanakan di Mekah, sedangkan apa saja
yang menyangkut memberi makan atau puasa dilaksanakan menurut kehendak
orang yang bersangkutan.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari
Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu
Ja'far yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani
oleh Ali dan Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma'
melanjutkan kisahnya, bahwa ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami
bersua dengan seorang lelaki yang sedang tidur, sedangkan unta
kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku (Abu Asma) berkata,
'Hai orang yang sedang tidur.' Lelaki itu bangun, dan ternyata dia
adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja'far membawanya sampai datang ke
tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang
saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain
ibnu Ali selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada
Al-Husain, 'Apakah sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyaratkan
dengan tangannya ke kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut
Al-Husain dicukur, kemudian Ali meminta didatangkan seekor unta, lalu ia
menyembelihnya."
Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali
menyembelihnya di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari
tahallul, maka masalahnya sudah jelas.
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa
hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan
tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba
waktunya.
Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya
atau berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru
berihram lagi untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu' secara khusus
yang telah terkenal di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian
tamattu secara umum mencakup keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh
hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya di antara perawi ada yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber-tamattu', sedangkan yang lainnya
mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada perbedaan
dalam masalah bahwa Nabi Saw. membawa hewan hadyunya
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam
bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat.
(Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat
baginya, minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya
menyembelih seekor sapi, karena Rasulullah Saw. sendiri menyembelih sapi
untuk dam istri-istrinya.
Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari sahabat Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ بَقَرَةً عَنْ نِسَائِهِ، وَكُنْ مُتَمَتِّعَاتٍ.
Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya, karena mereka semuanya melakukan tamattu'.
Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu
disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari
Imran ibnu Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di
dalam Kitabullah dan kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw.
Kemudian tidak ada wahyu lagi yang turun mengharamkannya serta Nabi Saw.
tidak melarangnya pula hingga beliau wafat."
Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya
sendiri. Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar.
Apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas,
bahwa Umar pernah melarang orang-orang melakukan tamattu'. Ia mengatakan
bahwa kita harus memegang Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt.
telah memerintahkan kita untuk melakukannya dengan sempurna. Yang
dimaksud adalah firman-Nya:Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Tetapi pada kenyataannya Umar r.a. tidak
melarang orang yang berihram dengan tamattu'. Sesungguhnya dia
melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke Baitullah
bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah,
seperti yang telah dijelaskannya sendiri.
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
(Al-Baqarah: 196)
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang
kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di
hari-hari manasik."
Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum
hari Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau
sejak dia melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan
lain-lainnya, karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam ibadah hajinya.
Di antara mereka ada yang memperbolehkan melakukan puasa sejak dari
permulaan bulan Syawwal. Demikianlah menurut Tawus, Mujahid, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari
sebelumnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, As-Saddi, Ata, Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu
Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak dapat
menemukan hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji
sebelum hari Arafah. Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari
Arafah, maka puasanya harus sudah selesai. Ia juga harus puasa tujuh
hari setelah pulang ke tanah airnya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu
Umar yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai
puasanya sehari sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang
terakhir pada hari Arafahnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali.
Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada
hari-hari haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha,
bolehkah ia melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama,
kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul
qadim-nya, orang yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada
hari-hari Tasyriq. Karena berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu
Umar yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi Saw.
tidak memperbolehkan melakukan puasa di hari-hari Tasyriq kecuali bagi
orang yang tidak menemukan hadyu (hewan kurban).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah,
dari Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan
dari keduanya (Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.
Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali
r.a. yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak
melakukan puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus
melakukannya pada hari-hari Tasyriq."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair.
Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang
terkandung di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji. (Al-Baqarah: 196)
Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada
hari-hari Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ"
Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah Swt.
Firman Allah Swt.:
{وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ}
dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya
mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian
kembali ke perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengatakan
bahwa puasa tujuh hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila orang
yang bersangkutan ingin melakukannya dalam perjalanan pulangnya, ia
boleh melakukannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata ibnu Abu
Rabah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah
apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di
negeri tempat tinggal kalian sendiri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari
Yahya ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar
berkata sehubungan dengan makna firman-Nya:Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang
kembali. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah bila orang yang
bersangkutan telah kembali ke tempat keluarganya (tanah airnya).
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Abul
Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi'
ibnu Anas. Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini
merupakan pendapat yang telah disepakati.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّة الْوَدَاعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى
الْحَجِّ وَأَهْدَى فَسَاقَ مَعَهُ الهَدْي مِنْ ذِي الحُلَيفة، وَبَدَأَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأهلَّ بِالْعُمْرَةِ،
ثُمَّ أهلَّ بِالْحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ. فَكَانَ مِنَ
النَّاسِ مَنْ أَهْدَى فَسَاقَ الهَدْي، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُهْد.
فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ
قَالَ لِلنَّاسِ: "مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحل
لِشَيْءٍ حَرُم مِنْهُ حتَى يَقْضِيَ حَجّه، ومَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ
أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّر
وليَحللْ ثُمَّ ليُهِلّ بِالْحَجِّ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا فليصُمْ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ".
وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu
Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan:
Rasulullah Saw. melakukan tamattu' dalam haji wada'-nya dengan melakukan
umrah sebelum ibadah haji, lalu beliau menyembelih hewan kurbannya.
Untuk itu beliau membawa hewan hadyu (kurban) dari Zul Hulaifah,
kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya. Sesudah ilu baru beliau
berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut ber-tamattu'
bersama-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaannya dengan
ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang
berkurban, ia membawa hewan kurbannya; dan di antara mereka ada yang
tidak berkurban. Ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda
kepada orang-orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan
kurban, maka tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan
atas dirinya sebelum menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara
kalian tidak membawa hadyunya (hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan
tawaf di Baitullah, dan sa'i di antara Safa dan Marwah serta memotong
rambut dan ber-tahallul. Setelah itu hendaklah ia berihram lagi untuk
ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak menemukan hewan kurban,
hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga akhir hadis.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah
r.a. hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepadaku oleh
Salim, dari ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain
melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama.
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang
menguatkan makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata
orang Arab, "Aku melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar
dengan kedua telingaku sendiri, aku tulis dengan tanganku ini." Dan sama
dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ
dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al-An'am: 38)
وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. (Al-'Ankabut: 48)
Adapun firman Allah Swt.:
وَواعَدْنا مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu
waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan
sepuluh (malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan
Tuhannya empat puluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di dalam
ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat
ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai
ganti menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu
Rasyid, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya:
Itulah sepuluh hari yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) Yakni sudah cukup
sebagai ganti menyembelih hewan kurban.
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk
Mekah). (Al-Baqarah: 196)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubungan
dengan orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk
Mekah). (Al-Baqarah: 196) Padahal mereka telah sepakat bahwa yang
dimaksud ialah penduduk kota Mekah. Tidak ada tamattu'' bagi mereka.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus
bagi penduduk kota Mekah, bukan selainnya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yakni
As-Sauri) yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Yang
dimaksud dengan mereka (dalam ayat ini) adalah penduduk kota Mekah." Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnul Mubarak, dari As-Sauri.
Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu
Abbas pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, tiada tamattu' bagi
kalian. Tamattu' hanya dihalalkan bagi penduduk negeri-negeri lain dan
diharamkan atas kalian. Sesungguhnya seseorang dari kalian hanya tinggal
menempuh sebuah lembah, atau dia menjadikan antara dirinya dan Tanah
Suci sebuah lembah, kemudian ia berihram untuk umrahnya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tamattu' hanya
diperbolehkan bagi orang-orang lain, bukan untuk penduduk Mekah, yaitu
bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Tanah Suci.
Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: Demikian
itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak
berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196)
Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas pendapat yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus.
Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Suci dan
daerah sekitarnya yang masih berada di antara Mekah dan miqat. Seperti
yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
dari Ata yang mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada sebelum
miqat (dari Mekah), maka kedudukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni
tidak boleh melakukan tamattu"
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Yazid,
dari Jabir, dari Makhul sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak
berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Makna yang
dimaksud ialah orang yang tempat tinggalnya masih berada di dalam
lingkungan miqat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya:
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196)
Yang dimaksud ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa ia
pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya
berada dalam jarak perjalanan kurang lebih satu hari dari Mekah, maka ia
boleh ber-tamattu'." Menurut riwayat yang lain darinya mengatakan
perjalanan dua hari dari Mekah.
Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam Syafii yang
mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah dan orang-orang yang
tinggal dalam jarak tidak diperbolehkan melakukan qasar dari Kota Suci,
karena sesungguhnya orang yang tempat tinggalnya sejauh itu masih
termasuk ke dalam pengertian hadir, bukan musafir.
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196)
Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan apa yang dilarang-Nya terhadap kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Al-Baqarah: 196)
Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan hal-hal yang dilarang ia melakukannya.
Firman Alloh Subhanahu Wata'ala
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا
رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ
خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ (197)
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.(QS
Al-Baqarah: 197)
Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara
mereka mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang
sesungguhnya yaitu haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi
untuk itu.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa
melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna
daripada melakukan ihram haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan
ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah.
Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang
tahun merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan
Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim
An-Nakha'i, As-Sauri, dan Al-Lais ibnu Sa'd. Hal yang dijadikan hujah
untuk memperkuat pendapat mereka adalah firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji."
(Al-Baqarah: 189)
Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka
hukumnya sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang
tahun. Perihalnya sama dengan ibadah umrah.
Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam
bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji
sebelum bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah.
Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua
pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan
ihram haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan Jabir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid.
Sebagai dalilnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: (Musim) haji
adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan
oleh ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam
bulan-bulan tersebut di antara bulan-bulan lainnya, maka hal ini
menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram sebelum tiba bulan-bulan
haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu salat.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu
Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi
seseorang melakukan ihram haji kecuali dalam musim haji, karena
berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya
ibnu Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij
dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur,
dari Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan, "Termasuk tuntunan Nabi Saw. ialah tidak
melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji)."
Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid
Al-Ahmar, dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa tidak boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji,
karena sesungguhnya termasuk sunnah haji ialah melakukan ihram haji
dalam bulan-bulan haji.
Sanad asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang
menyatakan bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan
sebagai hadis marfu' menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang
mengatakannya adalah Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai 'juru terjemah
Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'. Memang ada sebuah hadis marfu'
sehubungan dengan masalah ini.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ المُثَنى، حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ، حدثنا
سفيان، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ
يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi,
telah mencertakan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah,
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir,
dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tidak layak bagi
seseorang melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulan haji.
Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Baihaqi
meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz
Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya:
أَيُهَلُّ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ فَقَالَ: لَا،
"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?" Beliau menjawab, "Tidak boleh."
Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis
marfu' tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat
adanya ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah
tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji.
Firman Allah Swt.:
{أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ}
beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan
bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari bulan
Zul-Hijjah.
Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam Bukhari dengan ungkapan yang
pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu
Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan
kepada kami Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan
dengan makna firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal,
Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari dari bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini
berpredikat sahih.
Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab
Mustadrak, dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari
Abdullah ibnu Numair, dari Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, lalu
ia mengetengahkan asar ini dan mengatakan bahwa asar ini (dikatakan
sahih) dengan syarat Syaikhain.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud,
Abdullah ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, Ibrahim
An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Ad-Dahhak
ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hal ini
merupakan pegangan bagi mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad
ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Saur. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan menyebutkan jamak
untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan dengan
pengertian taglib (prioritas).
Perihalnya sama dengan perkataan orang-orang Arab, "Aku melihatnya tahun
ini," dan "Aku melihatnya hari ini," sedangkan makna yang dimaksud
ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga seperti pengertian dalam
firman-Nya:
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203)
Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu setengah hari (bukan setelah dua hari).
Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan
bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan
Zul-Hijjah secara lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari
Ibnu Umar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq,
telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang
mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah,
dan Zul-Hijjah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan
bahwa ia bertanya kepada Nafi', "Apakah engkau pernah mendengar Ibnu
Umar menyebutkan tentang bulan-bulan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya,
Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan
Zul-Hijjah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu
Syihab, Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad asar ini berpredikat
sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diriwayatkan pula
dari Tawus, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan
Qatadah.
Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayangnya
berpredikat maudu', diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih melalui
jalur Husain ibnu Mukhariq —sedangkan dia orangnya dicurigai suka
membuat hadis maudu', dari Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab,
dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْحَجُّ أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقِعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ"
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, bulan Zul-Qa'dah, dan bulan Zul-Hijjah.
Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini tidak sah.
Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu
berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa
bulan tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram
umrah pada sisa bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah
melakukan ihram haji sesudah malam kurban.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy,
dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa
Abdullah pernah mengatakan, "Musim haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, tanpa ada umrah padanya." Sanad asar ini sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa
bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah
hanyalah bermaksud bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk
melakukan umrah.
Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun
pada kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan
selesainya hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu
Sirin, "Tiada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa
ibadah umrah di luar bulan-bulan haji lebih utama daripada melakukan
ibadah umrah dalam bulan-bulan haji."
Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu
Muhammad tentang. ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim
menjawab, "Mereka menganggapnya kurang sempurna."
Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa
keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan
keduanya melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji.
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ}
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di dalam ayat
ini terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan
melangsungkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram
untuk haji atau umrah.
Menurut Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila
melakukan ihram untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i,
Ikrimah, Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu
Hayyan.
Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard ialah talbiyah.
Firman Allah Swt.:
{فَلا رَفَثَ}
maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197)
Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah,
hendaklah ia menjauhirafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh,
seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti
berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga
diharamkan membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus;
Nafi' pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali
mengatakan bahwarafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal
yang berbau porno.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki,
dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu
Abbas pernah mendendangkan syair untuk memberi semangat kepada unta
kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram, yaitu ucapan
penyair:
وَهُنَّ يَمْشينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Sedangkan wanita-wanita itu berjalan bersama kami dengan langkah yang
tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya kami dapat menyentuhnya.
Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah engkau
mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?"
Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila
dituturkan di hadapan kaum wanita."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain,
dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf,
telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan
kepadaku Abu Husain ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah
berangkat haji bersama Ibnu Abbas, dan pada tahun itu dia menjadi teman
Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki miqat), Ibnu Abbas
mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada unta
kendaraannya, yaitu:
وَهُنَّ يَمْشِينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...
Mereka (wanita-wanita itu) berjalan bersama kami dengan langkah-langkah
yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai burung, niscaya kami dapat
memegangnya.
Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucapkan
kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas
menjawab, "Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di
hadapan kaum wanita."
Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh
rafas dan berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)
Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya mengeluarkan kata-kata sindiran
yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini dinamakan 'irabah
menurut islilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata yang jorok'."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang
lebih rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Amr ibnu Dinar.
Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan 'irabah
yang artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya
haram.
Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada
istrinya, "Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan
menggaulimu." Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya
menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan
kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah
persetubuhan dan lain-lainnya yang semisal.
Ibnu Abbas mengatakan pula juga Ibnu Umar bahwa rafas artinya
menyetubuhi wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair,
Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abul Aliyah, dari Ata, Makhul, Ata
Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar, Atiyyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi',
Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim
ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Firman Allah Swt.:
{وَلا فُسُوقَ}
dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)
Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
yang dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id
ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i,
Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan
maksiat terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun
perbuatan lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', bahwa
Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan fusuq ialah
melakukan perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah
Suci."
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam
ayat ini ialah mencaci maki. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Ibnuz Zubair, Mujahid, As-Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan.
Barangkali mereka yang mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada
apa yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah kekufuran.
Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim
meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Abu
Wail, dari Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Mencaci orang
muslim hukumnya fasik dan memeranginya hukumnya kufur.
Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud,
dari ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa'd,
dari ayahnya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq
dalam ayat ini artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala,
seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya:
أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'am: 145)
Ad-Dahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk.
Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini
ialah semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana
Allah melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram,
sekalipun dalam sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja
dalam bulan-bulan haram lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah
maka Allah Swt. berfirman:
مِنْها أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang
empat ini. (At-Taubah: 36)
Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim,
niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.(Al-Hajj: 25)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam
ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti
membunuh binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan
lain sebagainya yang sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar.
Akan tetapi, semua apa yang telah kami sebutkan adalah harus lebih
dijauhi.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, dari sahabat
Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«من حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas
dan tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya
seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
Firman Allah Swt.:
{وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ}
dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim
haji, yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya. Allah Swt.
telah menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya
dengan rincian yang gamblang.
Sehubungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu
Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah Swt. telah
menjelaskan bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan
di antara manusia dalam mengerjakannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan
dan tidak ada bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah
jelas. Kemudian Mujahid menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh
kaum musyrik terhadap apa yang disebutkan di kalangan mereka dengan nama
nasi' (menangguhkan bulan haji, lalu memindahkannya ke bulan yang
lain). Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh Allah Swt.
As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji
telah diluruskan, maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud denganjidal ialah
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah
melakukan bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Hanya Allah yang
lebih mengetahui, bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf
di Masy'aril Haram, yaitu di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab
lainnya dan selain orang-orang Arab melakukan wuquf di Arafah. Mereka
selalu berbantah-bantahan. Golongan yang pertama mengatakan, "Kami lebih
benar," sedangkan golongan yang lain mengatakan, "Kamilah yang lebih
benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah yang lebih
mengetahui.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa
mereka mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda
yang masih mereka perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa
mauqif-nya adalah berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah
memutuskannya, yaitu ketika Dia memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang
manasik yang sesungguhnya.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b yang
mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina,
maka sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, "Haji
kami lebih sempurna daripada haji kalian," begitu pula sebaliknya.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim
ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji
ialah bila sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, "Haji adalah
esok hari." Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, "Haji adalah hari
ini."
Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat
yang telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan
dalam manasik haji.
Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal dalam
ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami
Ishaq, dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu
Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)
Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya.
Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi,
disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna
al-jidal, maka Ibnu Abbas menjawab, "Artinya berbantah-bantahan, yaitu
bila kamu melakukan bantahan terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah
karenanya." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak,
dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Ata,
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani,
Makhul, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu Dinar, Ad-Dahhak,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar, Al-Hasan,
Qatadah, dan Az-Zuhri.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan
perdebatan hingga engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian
Allah Swt. melarang hal tersebut.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
(Al-Baqarah: 197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang
mengatakan bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan
bertengkar.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi',
Umar pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan
haji artinya melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair,
Al-Hasan, Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa mereka
mengatakan, "Al-jidal artinya berbantah-bantahan."
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah,
yaitu bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur
budak, lalu kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi
masalah bagimu, insya Allah.
Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap
diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh
Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حُجّاجًا، حَتَّى إِذَا كُنَّا بالعَرْج نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَتْ عائشةُ إِلَى جَنْبِ رَسُولِ
اللَّهِ، وجلستُ إِلَى جَنْب أَبِي. وَكَانَتْ زِمَالة أَبِي بَكْرٍ
وزِمَالة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً
مَعَ غُلَامِ أَبِي بَكْرٍ، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُهُ إِلَى أَنْ
يَطْلُعَ عَلَيْهِ، فأطْلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ، فَقَالَ: أَيْنَ
بَعِيرُكَ؟ فَقَالَ: أضللتُه الْبَارِحَةَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَعِيرٌ
وَاحِدٌ تُضلَّه؟ فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ: "انْظُرُوا إِلَى هَذَا
المُحْرِم مَا يَصْنَعُ؟ ".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah
ibnuz Zubair, dari ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan
hadis berikut: Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan
ibadah haji. Ketika kami berada di Araj, Rasulullah Saw. turun
istirahat. Maka Siti Aisyah r.a. duduk di sebelah Rasulullah Saw.,
sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku). Ketika itu pelayan
perempuan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang disertai dengan
budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu budaknya
muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya,
"Ke mana untamu?" Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia."
Abu Bakar berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat
menjaganya, hingga ia kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu,
sedangkan Rasulullah Saw. tersenyum seraya berkata:Lihatlah oleh kalian
apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini.’
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui hadis Ibnu Ishaq.
Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf yang
menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta
(kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terhadap Abu Bakar ini,
yaitu: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang
ihram ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya
menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.
قَالَ الْإِمَامُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَخِيهِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قضَى
نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah,
dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu
Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang
siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari
ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas
semua dosanya yang terdahulu.
Firman Allah Swt.:
{وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ}
Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik
berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka
untuk mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. memberitahukan kepada mereka
bahwa Dia Maha Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan
kepadanya dengan balasan yang berlimpah di hari kiamat nanti.
Firman Allah Swt.:
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat
meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan,
"Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami
makan?" (yakni niscaya Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini
yang maknanya, "Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari
meminta-minta kepada orang lain."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan
hajinya tanpa membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah: 197)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas), dari Ibnu Uyaynah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayatkan pula oleh
Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu
Hatim mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu
Uyaynah lebih sahih.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Sa'id
ibnu Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu
Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang
menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa. (Al-Baqarah: 197)
Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah.
Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat
Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari
Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa
membawa bekal, dan mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang
bertawakal." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari Syababah.
Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis
Syababah dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih
meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi', dari
Ibnu Umar yang menceritakan bahwa tersebutlah apabila mereka telah
memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka bawa masih ada pada mereka,
maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan perbekalan lain yang
baru. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar
membawa perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni
makanan yang tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz
Zubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim
ibnu Abdullah, Ata Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan
Muqatil ibnu Hayyan.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering."
Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa'id
ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah
(Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud ialah bekal berupa tepung dan sagon.
Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim
Al-Makki, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang
mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki
ialah membawa bekal yang baik dalam perjalanannya.
Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah,
bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian
dengannya agar membawa bekal yang baik.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى}
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)
Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam
bepergian di dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya kepada
mereka bekal lainnya untuk kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa
kepada Allah. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat
lain, yaitu firman-Nya:
وَرِيشاً وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (Al-A'raf: 26)
Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret),
lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian
lainnya, yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan
takwa. Allah menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik
dan lebih bermanfaat daripada jenis yang per-tama tadi.
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang
dimaksud dengan takwa ialah bekal untuk akhirat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ،
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُمُعَاوِيَةَ،
عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ
النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [قَالَ] : "مَنْ
يَتَزَوَّدْ فِي الدُّنْيَا يَنْفَعه فِي الْآخِرَةِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, dari
Ismail, dari Qais, dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang
bersabda: Barang siapa yang membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan
bermanfaat di akhirat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan
berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari
kalangan kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, "Wahai
Rasulullah, kami tidak menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal
kami." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"تَزَوَّدْ مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ التَّقْوَى".
Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain,
dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa.
(Riwayat Ibnu Abu Hatim)
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ}
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197)
Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi
orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, hai
orang-orang yang berakal dan berpemahaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar